7. Surat Undangan

798 117 15
                                    

Bab 7. Surat Undangan

“Nak, sudah tidur?” tanya ibuku yang masuk ke kamar kemudian duduk di tepian tempat tidur.

Aku yang berbaring miring menghadap tembok membalikkan tubuh. Bangun dari baringanku dan beringsut duduk. Sudah pukul sepuluh malam, tetapi sejak sore pahit itu aku tak mampu memejamkan mata dengan benar. Mimpi buruk terus menghantuiku, mungkin efek dari luka hatiku yang masih basah berdarah dan berdenyut nyeri.

“Belum, Bu,” sahutku pelan. 

Ibu menggenggam tanganku dan meremasnya lembut. Lalu sebelah tangannya membelai kepalaku, terasa begitu damai, sorot mata teduhnya menatapku penuh kasih. Mataku kembali memanas, genangan yang baru surut satu jam lalu itu kini kembali menyeruak ke permukaan. 

“Ibu, maafkan aku. Telah melemparkan noda di wajahmu, pernikahanku yang batal pasti membuatmu malu,” ucapku parau. Tenggorokanku kembali tercekat tersumpal gumpalan air mata.

“Azaliaku, Anak Ibu. Dengarkan, sayang. Semua ini sudah takdir. Selalu yakin akan hikmah baik di balik semua hal yang terjadi. Tentang malu, ibu sama sekali tidak merasa begitu, karena batalnya rencana pernikahan ini bukanlah salahmu. Justru ibu bersyukur, karena Allah membukakan warna asli Haikal sebelum permata hati ibu terlanjur terikat janji suci dengannya.“

Kujatuhkan diri ini ke pelukannya, kembali menumpahkan segala perih yang menghantam jiwa lewat deraian air mata. Terisak dalam pelukan sosok yang paling menyayangi dan mencintaiku sepanjang jalan kehidupanku. 

“Bukankah selama ini kita selalu berdo’a, agar dijauhkan dari perkara yang tidak baik bagi kehidupan dunia maupun akhirat?” Ibuku kembali berkata sambil mengusap lembut rambutku juga bahuku yang berguncang.

“Mungkin ini adalah jawaban Allah atas do’a-do’a kita. Bahwasanya Haikal memang tidak baik untukmu sehingga Allah menjauhkannya darimu dengan cara ini. Yakinlah, Allah akan mengganti semua kesedihanmu dengan kebahagian lain asalkan kamu bertawakal, Nak. Jodoh itu cerminan diri. Jika pribadimu baik maka akan Allah kirimkan jodoh yang baik pula dan menjauhkan yang membawa pengaruh buruk. Untuk itu tugas kita sebagai manusia adalah selalu berusaha memperbaiki diri setiap harinya.”

Ibu bertutur panjang lebar dengan nada lembutnya yang selalu mampu menyejukkan jiwa. Memberi secercah cahaya pada kalbuku yang kini gulita. 

“Apa yang harus kulakukan sekarang, Bu?” tanyaku di sela-sela isak tangisku.

“Relakan semuanya. Ingatlah, manusia hanya sebatas berusaha dan berencana, hasil akhirnya semuanya berada dalam kuasa Allah. Saat hal yang direncanakan tidak terwujud sesuai keinginan, di situlah kesempatan kita melatih sang hati agar menjadi pribadi yang lebih ikhlas. Jangan pernah ada dendam di hatimu, dendam hanya membuat hatimu mengeras dan menghitam. Juga jangan menangis dan meratap terlalu lama, Nak. Hukumnya mubah. Sedih dan terluka itu manusiawi, karena manusia diciptakan memiliki rasa itu dalam dirinya. Tapi tidak boleh melenakan diri berlarut-larut dalam kesedihan. Jadikanlah semua ini cambukan agar kita semakin dekat pada Sang pencipta. Menangislah untuk hal yang bermanfaat, seperti tangisan kala kita berdo’a dan bersujud memohon ampun atas segala dosa.”

Kuanggukkan kepala dalam pelukan ibu. Mencari ketentraman, kedamaian juga kekuatan di sana. Semua yang dikatakan ibu memang benar adanya. Tidak ada lagi yang bisa kulakukan selain mengikhlaskan walaupun tak semudah membalikkan telapak tangan. 

Takkan kubiarkan rasa sakit mengalahkanku dan menyeretku terus berkubang dalam kesedihan, karena diri ini berhak bahagia. Memuja luka hanya akan membuatku makin terperosok dalam lubang nestapa yang khawatir termakan bisikan setan sehingga mengendap menjadi dendam.

Malam ini aku tidur ditemani ibu. Tak lupa kupanjatakn do’a sebelum kelopak mataku tertutup. Sambil berseru pada hatiku, membulatkan tekad melupakan dan mengikhlaskan perihku, menguburnya sebagai masa lalu. 

Setelah tiga hari izin tidak masuk, hari ini kuputuskan untuk kembali pada rutinitas. Hidup harus terus berlanjut bukan? Juga tak mungkin aku terus-menerus bolos meminta izin meskipun pemiliknya tak keberatan. Mungkin mengingat selama ini aku sangat jarang absen bekerja. 

Aku sampai satu jam sebelum toko dibuka dan langsung berbenah di tempatku mengais rupiah semenjak lulus SMA. Kutata nampan-nampan berisi kue yang sudah matang ke etalase sebelum beranjak ke dapur. Aku memang bertugas di bagian depan, tetapi sebelum waktu buka toko atau jika sedang senggang, aku sering ikut berkecimpung di dapur. Mengamati para koki membuat roti dan kue atau terkadang ikut membantu.

Membuat kue dan roti seperti mood booster untukku. Aku bahkan sering bertanya pada koki tentang resep-resep dan tips memasak dua jenis penganan itu dan mempraktekkannya di rumah. Proses meracik adonan juga sedapnya aroma kue yang dipanggang selalu sukses membuat hatiku gembira.

“Azalia. Ada yang mencarimu.” Salah seorang temanku yang juga bertugas di depan masuk ke dapur dan memanggilku.

“Siapa?” 

“Si ganteng?” jawabnya sambil lalu.

Aku bergegas ke depan. Langkahku terhenti saat melihat sosok itu. Duduk di salah satu kursi yang diperuntukkan bagi pelanggan yang ingin menyantap kue dan roti di tempat. Baru saja aku membalut luka hatiku dengan perban dan membebatnya kuat. Si pembawa duka kini kembali muncul di hadapanku. 

Teman-temanku tampak menyapanya ramah lalu tersenyum ke arahku. Mereka belum tahu, bahwa aku dan dia telah berakhir. Kuayunkan kaki menghampiri. Aku tak ingin menjadi pengecut meski separuh hatiku berteriak tak ingin lagi melihat wajahnya. 

“Mau apa ke sini?” semburku tak berbasa basi.

“Aku cuma mau bicara sebentar. Duduklah sejenak, aku juga sibuk,” ketusnya.

“Ada apa lagi sih?" kesalku kemudian duduk berhadapan dengannya. Aku enggan bertatap muka dengannya dan memilih memalingkan wajah ke arah lain. 

“Aku ingin menyampaikan pesan ibuku karena ponselmu tak bisa dihubungi. Kamu memblokir nomorku?” cecarnya tampak kesal tanpa merasa berdosa. Jelas saja aku memblokirnya, harusnya dia paham kenapa aku melakukannya. 

“Ya, aku memblokirnya! Cepatlah, aku sedang bekerja!” tegasku merasa jengah dan tidak nyaman dengan keberadaannya di sini.

“Aku juga tidak mau berlama-lama di sini. Nanti aroma kue menempel di baju mahalku. Ibuku meminta kembali uang 25 juta yang dibawa ketika tunangan. Uang yang dulu dimaksudkan untuk biaya pernikahanku denganmu. Kita tidak jadi menikah, jadi tentu saja uang itu harus kamu kembalikan bukan?” ujarnya tidak tahu malu membuatku terperangah kehabisan kata-kata. Sosoknya kini benar-benar asing. 

"Dan juga aku ingin memberikan ini.” Tangannya bergerak merogoh saku jaketnya. Aku hanya bergeming dengan kepalan di bawah meja sambil menunggu jenis kebrengsekkan apalagi yang akan dilemparkan Haikal padaku. Dia mengeluarkan sebuah amplop berwarna marun berpadu gold ke atas meja. “ini surat undangan. Pernikahanku akhir pekan, tempatnya di hotel tempatku bekerja dulu. Kuharap kamu datang, sesekali kamu harus menghadiri pesta berkelas. Aku pergi.”

Bersambung. 

              Haikal enaknya diapain ya 🙃? 



Batal Akad (Tamat di Karyakarsa & KBM) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang