Bab 6. Merapuh
Pohon harapan yang belum lama bertumbuh di taman hatiku, layu tak ingin hidup lagi. Daunnya mengering menyerah bertahan dari rantingnya hingga jatuh berguguran menyentuh bumi. Lentera sukmaku meredup temaram, apinya goyah diterpa angin penuh dusta berbalut pengkhianatan. Hati yang ditambatkan kini dicampakkan, janji-janji manis remuk redam kandas ke dasar lautan. Ruang kalbuku yang penuh binar benderang kini hanya menyisakan kelam.
Sejak kedatangan Haikal dan ibunya, sudah dua hari aku memilih mengurung diri di kamar. Semangat hidupku menguap bersama kepedihan. Aku bahkan izin tidak masuk bekerja dengan alasan sakit. Ya, memang benar aku sakit, hanya saja yang sakit bukan ragaku, melainkan hatiku.
Kuratapi luka hatiku, tenggelam dalam kesedihan yang pilu menyembilu. Masih jelas tergambar dalam ingatanku. Debaran dan riak indah menyapa kalbuku saat Haikal berjuang gigih demi mengambil hatiku.
Sejak pertemuan pertama saat mengantarkan cake tart yang dipesan di toko tempatku mencari rupiah ke hotel tempatnya bekerja, Haikal menunjukkan ketertarikannya padaku dengan jelas. Gencar melakukan pendekatan dan hampir setiap hari datang ke tempatku bekerja demi bisa lebih dekat denganku dengan berbagai alasan salah satunya adalah ikut salat di musola kecil yang terletak di samping toko.
Tepat di sore hujan tujuh bulan yang lalu. Hari di mana dia menyatakan perasaannya padaku secara gamblang. Aku memang belum mengenalnya terlalu lama, tetapi saat pintu hatiku diketuk debaran rasa untuknya datang begitu saja tanpa permisi. Ditaksir terang-terangan oleh pria idaman teman-temanku membuatku goyah dan melabuhkan rasa itu padanya. Ia merupakan sosok yang ramah, mudah bergaul dan berdedikasi penuh dalam karir. Membuat kesan penuh tanggung jawab melekat kuat padanya.
Kalau Mas Haikal memang serius sayang sama aku. Datanglah ke rumahku untuk memintaku pada ibuku.
Sepenggal kalimat sebagai jawaban atas pernyataan perasaan Haikal padaku tujuh bulan lalu yang langsung disanggupi olehnya. Dia datang dengan jantan dan menyatakan keseriusannya di hadapan ibu. Entah saat itu dia benar-benar tulus atau tidak hanya dirinya yang tahu.
Janji-janji manis yang dibangunnya untukku, diruntuhkan hingga rata dengan tanah oleh dirinya juga. Tak ada penyesalan dalam setiap untaian kalimatnya saat memutus rajutan asa denganku setelah menebar pesona pada bunga indah lainnya juga menabur benih di ladang yang lain.
Kutenggelamkan wajah diantara kedua lututku yang ditekuk. Air mata ini terus saja jebol meluruh enggan berhenti, tanggulnya roboh hingga menyebabkan banjir bandang.
Semula yang kukhawatirkan adalah ibu yang mungkin tak mampu menanggung kecewa serta malu yang dibebankan di pundaknya. Ternyata aku salah, ibu begitu tegar dan justru akulah yang serapuh kertas.
Masih sanggupkah aku bertemu dengan orang-orang setelah ini? Pernikahanku yang batal seumpama kotoran yang dilempar tepat ke wajahku juga ibuku. Aku sama sekali tidak siap akan cemohan yang mungkin terlontar untukku.
Beranjak kubuka jendela berharap melegakan sesak di dada, dan sore ini hujan lagi-lagi menyapa. Sungguh ironi, rajutan indah itu dimulai ketika hari hujan dan juga berakhir terkoyak benangnya dengan hujan yang kembali menjadi saksi. Aku suka hujan, tapi sepertinya hujan tidak menyukaiku.
Ibu memberi ruang padaku untuk menenangkan diri. Ia hanya masuk ke kamarku mengantar makanan dan keluar lagi tanpa banyak bertanya. Sungguh seorang ibu bagikan peramal ajaib yang selalu mampu memahami penuh pemakluman bahwa anaknya sedang butuh waktu untuk menyendiri.
Suara anak-anak yang datang mengaji mulai terdengar satu persatu. Wanita yang melahirkanku sungguh hebat setegar batu karang. Sudah pasti hatinya pun terluka dan berdarah-darah, tetapi semua itu sama sekali tak membuatnya terpuruk dan tetap menjalani rutinitas seperti biasa meski gurat sendu tersirat di balik sorot matanya.
Aku tetap berdiam di kamar dan salat Magrib tanpa ikut berjamaah dengan anak-anak seperti biasanya. Kutasbihkan dzikir membasahi bibirku, seiring kalbuku yang merintih pilu dalam do'a yang kulangitkan. Kuraih mushaf kesayanganku, bersampul warna hijau tua yang sudah menemaniku semenjak sekolah dasar dulu. Kubuka batas tilawahku dan mulai kulantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an seperti rutinitasku setiap harinya.
Namun, kini pandanganku mengabur akibat terhalang genangan air mata saat membacanya, berjatuhan menetes ke pangkuan merasakan kembali tusukan perih tak terperi menghujam kalbu.
Tenggorokanku terasa kering akibat terlalu banyak menangis. Kulirik gelas di meja dekat tempat tidurku dan ternyata isinya sudah kosong melompong. Kuseka wajahku menghapus jejak- jejak basah duka lara dan keluar dari kamar tanpa membuka mukenaku.
Aku berjalan cepat sambil menunduk, tidak ingin anak-anak yang sedang mengaji di ruang tengah memegoki wajah sembapku terutama anak-anak TK yang sering kubimbing belajar membaca Iqra.
Biasanya Aku rutin ikut membantu ibu mengajarkan anak-anak belajar mengaji. Ibuku mengatakan sebaik-baiknya ilmu yang bermanfaat dunia kahirat adalah ilmu yang bisa diamalkan dan dibagi dengan yang lain kendati ilmu yang kau punya hanya sedikit.
Sederhananya seperti mengajarkan bacaan Surah Al-Fatihah yang benar kepada satu anak, dan anak tersebut akan membaca Surah Al-Fatihah yang kita ajarkan lima kali sehari dalam salatnya seumur hidupnya secara berulang. Maka, insyaallah dari ilmu yang kau bagi itu walaupun hanya sedikit, keberkahannya akan melimpah ruah padamu dunia maupun akhirat. Dengan syarat kita ikhlas berbagi ilmu dan semata-mata hanya karena Allah.
Sesampainya di dapur kuisi gelasku, kubasahi tenggorokanku yang terus saja tercekat. Aku bangkit dari kursiku untuk mengambil gelas yang lebih besar, bermaksud mengisinya dan akan kubawa ke kamar.
Kurasakan ada yang menarik-narik mukenaku. Aku menoleh, ternyata si gadis cantik dengan bola mata jernihnya yang datang menghampiriku.
"Kenapa Nada ke dapur?" tanyaku dengan suara serak.
"Nada mau kasih ini." Tangan kecilnya merogoh saku baju muslimnya dan mengeluarkan dua buah permen empuk berwarna pink berbentuk hati.
"Ini buat Kak Azalia. Kakak pasti lagi sedih kan? Kata Umi, teman kesayangan Kakak kabur," ujarnya dengan suara khas anak-anak.
Tanpa sadar aku terkekeh. Ternyata itu yang dikatakan ibu tentangku pada anak-anak, karena sudah pasti mereka banyak bertanya jika aku tidak ikut mengajar.
"Eh, i-iya. Makasih ya." Kuterima permen yang disodorkan Nada padaku dan berusaha tersenyum.
"Jangan sedih lagi. Nada suka dikasih permen ini sama Papa kalau kangen Mama. Mama juga kabur kayak teman Kakak."
"Hush, nggak boleh gitu. Kata siapa mamanya kabur?" Aku berjongkok dan mengelus sisi wajahnya.
"Kata ibu-ibu di sekolah TK," sahutnya polos. "Kakak jangan lupa makan permennya ya. Papa bilang permen ini bikin hati kita penuh cinta lagi seperti bentuknya. Jadi kalau lagi sedih, Kakak makan saja permen ini, nanti hati kita bahagia lagi." Nada berbalik dan berlari kecil ke ruang tengah bergabung kembali dengan teman-temannya.
Sejenak aku terhenyak. Aku begitu terpukul karena dicampakkan calon suami. Lantas, apa kabarnya hati bocah kecil itu yang ditinggalkan begitu saja oleh wanita yang melahirkannya?
Bersambung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Batal Akad (Tamat di Karyakarsa & KBM)
RomanceRank# 1 kategori romantis-15 Maret 2022 Rank# 2 kategori pernikahan-15 Maret 2022 Rank# 4 kategori cinta-15 Maret 2022 Rank# 6 kategori ramadhan- 18 Maret 2022 Kisah ini kutulis sepenuh hati dengan membubuhkan banyak cinta juga pesan-pesan tersirat...