17. Altharafisqi Rasyid

560 91 6
                                    

Bab 17. Altharafisqi Rasyid

Bulan mulia yang suci sudah memasuki hari ke lima. Dan hari ini adalah hari ke limaku berangkat mengajar ke rumah Bu Husna. Langkah kakiku ringan dengan beberapa buku kelengkapan mengajar di pelukan. Berangkat ke rumah Bu Husna serupa sebuah kesenangan, seperti ramuan yang menghapus semua jejak perih di hati kala celotehan Nada yang antusias belajar memenuhi ruang dengar juga pandang. 

Terik matahari yang jatuh di ubun-ubun tak menyurutkan semangatku berbagi ilmu. Meski panas melanda aku tetap merasa gembira. Berbekal didikan terbaik ibu, ilmu yang diberikan para guru di sekolah SMA islamku juga tempat mengajiku, aku ingin mengamalkan ilmu yang kudapat. Berharap ilmu tak seberapa yang kubagi bermanfaat dunia akhirat.

Di hari ini ada rasa tak biasa saat rumah Bu Husna mulai tertangkap manik mataku. Mobil Range Rover warna putih terparkir di luar pagar, menandakan pemiliknya pasti berada di dalam sana. Di akhir pekan begini sudah pasti Althar ada di rumah Bu Husna. Ini adalah pertama kalinya aku ke rumah ini dengan kehadiran Althar di dalamnya. Aku terkena serangan gugup juga senang bisa berjumpa lagi dengannya. Memikirkan menghirup udara yang sama dalam satu bangunan bersamanya cukup membuat jantungku memompa tak biasa, desirannya menjalar dari kaki hingga ujung kepala.

Assalamu’alaikum.” Kuucapkan salam di luar pagar setelah memencet bel rumah besar bercat putih bersih berpadu hitam dari batu alam di beberap bagian.

Wa’alaikumussalam.” Suara bariton yang menjawab salamku mampu membuat nadiku berdenyut merdu. Ada rasa aneh menyeruak di dada yang belum bisa kutelaah. 

Pagar besi digeser hingga terbuka lebar. Althar menyambutku dengan senyuman tipisnya yang khas, jenis senyuman yang paling sering tersunggging di bibirnya. Tidak berlebihan apalagi terkesan menebar pesona, tetapi mampu membuatmu terpana.

“Apa kabar, Kak.” Kuberanikan diri menyapa terlebih dahulu di tengah degupan jantungku yang begitu berisik. Lama netra hitam maskulin Althar memaku tatapan padaku lalu sesaat kemudian ia mengusap wajahnya dan beralih menjatuhkan pandangan ke arah lain. Diberi tatapan semacam itu tubuhku yang sedikit berkeringat laksana disiram air es, menyejukkan namun membuat bulu romaku meremang di saat bersamaan.

“Saya baik. Masuklah, Nada sudah menunggu,” sahutnya singkat.

Aku masuk mengekori langkah Althar. Suara ceria Nada menyambutku dan dia menghambur memelukku. 

“Kak Azalia, kenapa baru datang? Nada udah nungguin dari tadi?” Bocah lucu itu merajuk manja sambil menarik-narik kerudungku. Dia sudah siap dan rapi dalam balutan busana muslim anak-anak berwarna dasar ungu motif bunga-bunga kuning.

“Maaf ya, tadi Kakak ada perlu sebentar, jadinya terlambat,” jawabku pelan sambil mengusap lembut kepalanya.

Aku mencari alasan. Ya, memang benar, aku datang dua puluh menit lebih lambat dari biasanya. Penyebabnya adalah kebimbangan yang ditimbulkan si pembungkus raga, hari ini aku kebingunan harus memakai baju yang mana. Pakaianku termasuk tidak terlalu banyak, masih muat disimpan di satu lemari yang mana di dalamnya juga termasuk pakaian dalam, jilbab, seprai-seprai bersih serta handuk.

Beberapa gamis dalam warna berbeda kucoba satu persatu. Entah mengapa aku mendadak cemas jika baju yang kupakai tak serasi. Mengingat kemungkinan untuk hari ini ada Althar di rumah Bu Husna, membuatku tanpa sadar melakukan hal-hal tak terduga. Akhirnya pilihanku jatuh pada gamis warna moca dipadu jilbab hitam bercorak senada.

“Gimana Nada puasanya? Lancar?” tanyaku. 

“Lancar banget, Kak. Cuma perutnya bunyi terus kayak guntur.” Nada menunduk menatap perutnya sendiri kemudian menepuk-nepuknya.

Tawaku berderai begitu saja begitu juga Althar. Celotehan Nada selalu mampu membuatku tersenyum.

“Kakak tahu nggak? Papa juga nanyain terus dari tadi. Bukan cuma sama Nada, tapi juga sama nenek. Nanyain kapan Kakak datang,” cicit Nada santai.

Aku tak tahu harus berkata apa. Bibirku bungkam, hanya bisa menunduk dengan debaran yang tak karuan. Hening tiba-tiba membentang di antara kami.

Althar berdehem lalu terbatuk sambil mengusap-usap tengkuknya. Aku dapat melihat dari ujung mataku kini telinganya tiba-tiba memerah.

“Ehm. Nada, ayo masuk. Sebaiknya segera dimulai pembelajarannya supaya nggak menyita waktu Kak Azalia.” Suara Althar memecah kecanggungan. Aku mengangguk pelan dan memilih segera menggamit tangan Nada tanpa berani menoleh ke belakang.

Pukul dua siang aku menyelesaikan tugasku mengajari bocah cantik itu mengaji. Nada langsung tertidur masih dengan baju muslimnya setelah menyetorkan hapalan beberapa surah-surah pendek di Juz tiga puluh. Kugendong dan kupindahkan ke atas kasur karena kebetulan kami belajar di kamar Nada. Setelahnya aku keluar untuk berpamitan pulang pada Bu Husna, biasanya jam segini beliau sedang berada di dapur mulai mempersiapkan menu berbuka puasa.

Aku menuju ke arah dapur. Tak sengaja telingaku menangkap suara pria bertilawah saat melewati kamar yang pintunya sedikit terbuka tidak jauh dari kamar Nada. Lantunan Surah Al-Ahzab ayat 21 sampai 22 berderai indah menyejukkan hati menggetarkan jiwa. Diawali dengan lagu Hijaz lalu Nahawand di tengah-tengah, tak lupa jawabuljawab dan ditutup dengan Hijaz kembali membuatku terpana dan terkesima, enggan menjauh dari sana.

Lantunan berlanjut pada surah lainnya yang tak kalah memukaunya. Pelafalan makhorijul hurufnya begitu fasih, disertai tahsin tajwidnya yang tepat di setiap bacaan membuatku terkagum dan ingin mendengarkan kembali, tak ingin berhenti bagai candu. Di dinding dekat kamar tersebut tergantung puluhan pigura, netraku memerhatikan dan membaca satu persatu. 

Piagam juara Musabaqah Tilawatil Qur’an tersebut atas nama Atharafisqi Rasyid. Ada enam piagam juara satu, sekitar delapan juara dua dan belasan sisanya juara tiga serta harapan. Dari mulai tingkat sekolah dasar bahkan sampai di universitas. 

Aku terpaku di sana, serupa ikan kehuasan yang terus meomohon demi setetes air. Ingin kembali mendengar lantunan ayat suci yang kuagungkan dari pria yang bukan hanya tampan rupanya, santun perangainya, juga indah suaranya dan ternyata berprestasi di jalan yang mulia. Ah, aku terpesona. Dia bukan pria biasa. Seperti menemukan oase saat tengah berada di padang gurun. 

Tubuhku tersentak kaget kala sebuah tangan menepuk bahuku. Saat bebalik ternyata itu Bu Husna. Aku malah berjengit merasa diri ini laksana maling yang ketahuan mencuri karena memang faktanya aku diam-diam mencuri dengar di luar kamar Althar.

“Azalia, kenapa diam di sini?”

“Ah, anu … i-itu. Nada su-sudah selesai belajarnya, Bu Hajjah. Saya mau berpamitan,” ucapku tergagap. “Sekarang Nadanya tidur,” sambungku kembali.

Bu Husna melirik ke arah jam antik yang tergantung di dinding. “Oh iya sudah jam dua lewat rupanya. Kita pergi bersama, Umi ada perlu dengan ibumu. Ada hal penting yang ingin dibicarakan.”

“Baik, Bu Hajjah.”

Aku cepat-cepat menjauh dari sana mengikuti langkah Bu Husna, melirik sekilas ke arah kamar yang pintunya masih sedikit terbuka itu dan wajahku merona begitu saja dengan debaran aneh yang makin merasuki kalbu. 

Batal Akad (Tamat di Karyakarsa & KBM) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang