15. Debaran Aneh

628 98 14
                                    

Bab 15. Debaran Aneh

“Apa benar, Althar ngomong gitu sama kamu?” 

Gerakan tanganku yang tengah memindahkan mie instant dari kantung belanja ke dalam kotak penyimpanan terhenti di udara. Aku tahu pertanyaan ini pasti akan muncul setelah Nada dengan polosnya membeberkan kalimat yang diucapkan sang papa di hadapan ibuku juga Bu Husna. Berbicara di depan anak kecil memanglah harus ekstra hati-hati, terselip lidah sedikit saja, apa yang didengar akan langsung terekam apik di memori otaknya.

“Kok diam? Ayo cerita.” Ibu menyenggol lenganku dengan tatapan ingin tahu.

Mendesah frustasi aku pun angkat bicara. “Tadi itu nggak sengaja terjadi keadaan darurat, Bu. Kak Althar bicara kayak gitu biar Haikal nggak terus-terusan gangguin aku. Aku ketemu Haikal di sana, lagi sama istrinya.” 

Aku menjelaskan sambil sesekali menarik napas kasar. Ada yang aneh denganku, dadaku bergemuruh kini bukan karena kemunculan maupun karena sajian kemesraan mantan calon suamiku dengan istrinya, melainkan karena seorang pria berhidung mancung yang akhir-akhir ini sering muncul di sekitarku.

“Oh … begitu rupanya. Tapi kalau betulan juga tidak apa-apa sih. Althar anak yang baik, penyayang juga berbakti pada orang tua,” ucap ibuku sambil meraih gelas minumnya lantas mengulum senyumnya menggodaku.

“Ih, Ibu. Apaan deh,” protesku walaupun sejujurnya ada bisikan lain dalam diriku.

Entah mengapa tiba-tiba saja hatiku berharap jika ucapan yang meluncur dari bibir Althar bukan hanya untuk membelaku dari cecaran Haikal semata. Setiap hal yang Althar lakukan untukku seperti sihir dan obat bagiku secara besamaan, padahal kami bersua belumlah lama, seolah dia memang dikirimkan Allah untuk menarikku dari lembah kesedihan saat aku terjerembab di titik terendahku. 

Kuenyahkan pikiran-pikiran aneh yang mencemari otakku. Jangan sampai rasa kagum dan terima kasih berkembang dan bertumbuh menjadi rasa yang tak seharusnya. Hatiku yang dipenuhi perban belumlah mengering sepenuhnya kendati kuakui mulai membaik dengan signifikan kini. 

Setelah belajar mengikhlaskan dengan sungguh-sungguh, berserah diri, membujuk si segumpal daging dalam rongga tubuhku untuk membuang amarah dan menerima bahwa semua yang terjadi dalam kehidupanku merupakan suratan takdir, ditambah hal-hal spontan menyentuh yang sering dilakukan Althar untukku, bak obat pereda nyeri dipadu antibiotik yang bersinergi dengan sangat baik menunjang penyembuhan pengeringan lukaku.

Mungkinkah, analogi dari temanku itu benar adanya? Ergh … kenapa aku malah mempertimbangkan hal itu sekarang? batinku. 

Kembali kulanjutakan kegiatanku membereskan sembako dan ibuku melakukan hal serupa. 

“Nampaknya, Althar itu tipe suami juga ayah baik. Terbukti, walaupun tanpa istri, dia bisa membesarkan Nada sejak usia tiga tahun.” Ibuku berkata dengan tangan sibuk menata belanjaan,

“Maksud ibu? Bukankah ada Bu Hajjah Husna yang ikut mengasuh?”

“Nada tinggal bersama Bu Husna baru sekitar satu tahun. Bu Husna banyak bercerita pada Ibu tentang Althar yang di awal-awal perceraiannya hanya mengasuh Nada seorang diri dan tidak ingin merepotkan orang tua. Tinggal di lantai dua ruko tempatnya membuka usaha berbisnis pakaian clothing yang cukup terkenal di Jakarta, hanya sesekali dibantu asisten karena dia ingin Nada diasuh oleh tangannya sendiri. Bisa kamu bayangkan bukan? Seorang pria bekerja sambil mengasuh anak.”

“Kenapa memilih tinggal di ruko?” Rasa ingin tahuku tentang Althar tiba-tiba terpancing.

“Saat perceraiannya dalam proses, Althar berusaha agar hak asuh Nada diberikan padanya. Walaupun saat itu yang berselingkuh adalah istrinya, tetapi entah mengapa hak asuh tetap lebih condong akan jatuh ke tangan istrinya. Bu Husna mengatakan Althar tidak mau jika nantinya Nada hanya digunakan sebagai pelampiasan juga alat untuk memerasnya. Dia sangat menyayangi putrinya. Untuk itu Althar menawarkan kesepakatan dan meminta hak asuh Nada agar diberikan padanya, dengan kompensasi menyerahkan rumah mewah yang dibangunnya beserta isinya yang mereka tinggali saat itu pada Mamanya Nada. Dan istrinya menyetujui tanpa menawar lagi, lebih memilih rumah mewah tersebut ketimbang anak yang dilahirkannya. Jadinya setelah perceraian, Althar tidak punya tempat berteduh dan membawa Nada tinggal di ruko.”

Aku cukup terkejut mendengar kisah Althar yang ternyata tidak sederhana. “Kadang aku tak habis pikir, istrinya mencari pria lain sementara sudah punya yang baik serta halal untuknya. Juga lebih memilih harta daripada darah dagingnya,” cicitku pelan sambil menggelengkan kepala.

“Itulah, Nak. Peribahasa bahwa rumput tetangga terkadang terlihat lebih hijau itu memang benar adanya. Maka dari itu pernikahan perlu dilandasi keimanan dan ketakwaan pada Allah, semata-mata karena ingin beribadah menjalankan ajaran Rasul. Supaya nantinya ketika bahtera rumah tangga mengarungi samudra kehidupan, suami dan istri mampu memahami serta menyikapi dengan keimanan, bahwa hal indah yang tidak halal hanyalah godaan sesaat menyesatkan yang akan menghancurkan biduk mahligai pernikahan. Perceraian memang diperbolehkan, tapi Allah membencinya. Untuk itu Ibu sangat bersyukur kamu tidak berjodoh dengan Haikal, yang tidak menutup kemungkinan bahwa Haikal akan menyeretmu pada hal yang dibenci itu jika kalian jadi menikah. Berselingkuh seperti yang dilakukan Haikal itu serupa penyakit mendarah daging, yang sewaktu-waktu bisa kambuh kembali.”

“Iya, Bu. setelah belajar mengikhlaskan dan memikirkan kembali tentang hal-hal yang terjadi padaku, kini aku pun mulai mensyukurinya dan mengambil sisi baiknya. Tapi ngomong-ngomomg, akhir-akhir ini Kak althar lebih sering terlihat di sini, padahal sebelum-sebelumnya jarang pulang, bahkan aku sempat memukulinya sewaktu malam Nisfu Sya’ban lantaran tak mengenalinya.” Aku menepuk keningku sendiri, setiap kali mengingat insiden itu selalu saja berhasil membuatku malu. Pasti Althar menganggapku banteng betina ganas. 

“Bu Husna bilang, saat ini Althar sedang mengurus rencana membuka cabang bisnis pakaiannya di Kota Bogor. Jadi dia lebih sering pulang ke rumah Bu Husna. Juga sedang kembali membangun rumah tinggal, tapi tidak di ibukota seperti rumahnya yang dulu. Kali ini dia memilih membangun rumah di Kota Hujan ini. Supaya dekat dengan Bu husna juga supaya ada yang membantunya mendidik Nada mengingat Nada sudah mulai bersekolah dan Althar makin disibukkan dengan pekerjaan. Tumben kamu tiba-tiba ingin tahu banyak hal tentang Althar? Atau jangan-jangan ehm,” ibuku berdehem dan memicingkan mata membuatku belingsatan. 

“A-aku kan cuma bertanya, Bu. Jangan –jangan apa coba maksudnya?” jawabku tergeragap.

Kutundukkan wajahku yang tiba-tiba memanas, aku malu kalau rona merah yang merebak luas di pipiku ketahuan oleh ibu. Aku kembali menyibukkan diri demi menghindari cecaran ibu. Memilih mengambil wadah minyak goreng lalu kuisi ulang minyak dari pouch yang baru ke dalamnya. 

Dapat kudengar ibu tertawa kecil lalu kembali berbicara. “Oh iya Azalia. Bu Husna mempunyai permintaan khusus padamu. Bisakah kamu memenuhinya? Ibu harap kamu menyetujuinya.”

“Hah? Per-permintaan apa, Bu?”

Tunggu, permintaan Bu Husna? Hei, kenapa Mendadak dadaku berdebar-debar tak karuan, apakah mungkin permintaannya itu adalah_

“Bu Husna ingin kamu menjadi guru privat mengaji untuk Nada selama Ramadhan ini, mengajukan permintaan saat mengetahui kamu libur bekerja sebulan penuh. Dia meminta dijadwalkan di waktu ba’da Dzuhur, Bu Husna ingin kamu yang datang ke rumahnya untuk mengajar. Bukan hanya membimbing membaca iqra, tapi juga meminta untuk mengajarkan bacaan salat yang baik dan benar kepada Nada. Jika disatukan dengan waktu mengaji bersama di sore hari pasti waktunya keteteran karena kamu juga harus mengajari anak-anak lainnya. Bu Husna memohon secara khusus, mengingat Nada patuh saat diajari olehmu jadi beliau sangat berharap banyak. Bagaimana?”

Genderang di dalam dadaku berhenti menabuh. Padahal tadi kukira jenis permintaannya bukan itu. Aku menggerutu dalam hati. Benci dengan arah pikiranku saat ini. Tentu saja permintaannya takkan jauh-jauh dari seputar perihal mengajar mengaji, tatapi otak dan hatiku malah menyimpulkan sendiri lalu berjalan-jalan santai pada hal lainnya.

“Baiklah, Bu. Aku bersedia.”

Bersambung

Batal Akad (Tamat di Karyakarsa & KBM) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang