19. Serangan Kebencian

413 114 3
                                    

Park Jisung terbiasa hidup dengan penuh tabur kekaguman dari orang-orang di sekelilingnya. Ketika mereka memuji seberapa hebat kapasitas otaknya menampung segala materi, seberapa cerdas dia menjawab pertanyaan tanpa materi sebelumnya, seberapa baiknya dia di depan semua orang itu, Jisung terbiasa dengan itu semua. Meski orang tuanya jarang mengutarakan kebanggaan mereka terhadap sang anak tapi dia tak pernah meminta. Jisung tidak pernah mengajukan satu pintanya supaya mereka memuji dirinya. Jisung tidak pernah menuntut orang tuanya untuk selalu memberikan pujian. Karena ketika mereka tidak melontarkannya, Jisung berasumsi bahwa Mama dan Papa-nya belum bisa mengagumi sepenuhnya. Dengan arti lain, Jisung harus belajar lebih giat lagi supaya orang tuanya memberikan satu pujian atau setidaknya bangga terhadapnya.

Disukai banyak orang itu menyenangkan. Di setiap langkahnya, Jisung bisa menyaksikan utasan senyum manis yang dilempar untuknya. Mengetahui mereka semua senang dengan kehadirannya, membuat hatinya menghangat.

Hidup memang selalu berputar layaknya roda yang menggilas aspal. Suatu saat, kamu akan berada di permukaan atas dan suatu saat pula kamu akan bergulir ke bawah. Menapaki bagian kasar dengan gesekan aspal yang menyakitkan.

Park Jisung tentu saja lebih nyaman ketika posisinya ada di permukaan atas roda. Diam tanpa terjangan kerikil yang saling bergesekan di bawah sana. Jisung tidak perlu takut akan itu semua sebab dia berada di atas. Tapi ketika roda digulir semakin cepat dan dia masih terpaku dalam posisi nyamannya, maka hantaman kerikil itu lebih menyakitkan dari sengatan listrik. Dia jatuh. Berusaha menahan rasa sakit atas gilasan aspal. Mencari jalan keluar supaya dia bisa menduduki posisi atas seperti semula.

Ketika masa itu datang, Jisung belum punya bekal apapun. Mentalnya, raganya, otaknya, dia belum menyiapkan semua itu untuk menghadapi cobaannya. Saat dunianya diputarbalikkan layaknya sebuah tangan, saat itu pula dunianya berubah menjadi kejam. Seolah menjelma menjadi bumerang untuk dirinya sendiri.

Pujian-pujian yang dulu selalu menyapa rungunya, kini tergantikan dengan adanya gosip pedas. Sapaan-sapaan ramah yang selalu menghangatkan hatinya, kini diganti dengan cibiran yang meruntuhkan hatinya. Semuanya berubah dalam satu kedip mata dan sayangnya, Jisung lengah. Dia membiarkan semua itu terjadi tanpa bekal perlawanan sedikitpun.

Bahkan ketika bangkunya berubah menjadi sebuah papan tulis dengan banyak cacian di sana, dia masih tidak bergeming. Menyerahkan semuanya seolah ia tak punya apapun lagi untuk melawan. Jangan duduk di sini, nanti kena kutukan! Kecil-kecil udah jadi orang kriminal! Kamu nggak punya tempat di dunia ini tahu nggak? Hidupmu tamat, Park Jisung hahaha. Deretan kalimat menyakitkan itu yang kini membayang jelas di jelaga hitamnya. Mereka yang dulu selalu mengaguminya, menusuk balik dengan semua cercaan itu.

"Jisung."

Si empu nama menengadahkan kepalanya. Seraut wajah yang sempat terasa sangat jauh untuk digapai, kini ada di depan matanya. Berdiri dengan sedikit kesenduan yang menonjol lewat air mukanya. Seseorang yang sebenarnya punya banyak ruang di dalam jiwanya untuk ia rindukan. Bersama dengan jam tangan mengkilau di tangan kirinya, Yongseub menyapa orang yang pernah sedekat nadi dengannya.

"Aku masih punya sedikit kepercayaan sama kamu, jadi aku minta kamu jelasin kenapa jam tanganku harus ada di dalam tasmu." Kalimat itu dilontarkan. Menyatakan sebuah permintaan yang membuat Jisung memaku sepenuhnya.

"Kamu bohong." Dua kata itu membalas dengan nada dinginnya. Membuat si penanya merasa sedikit tersinggung. Bersama dengan manik matanya yang menatap lurus sosok di hadapannya, Jisung mengucapkan kalimat berikutnya. "Kalau kamu masih punya kepercayaan, harusnya kamu nggak perlu tanya ini lagi. Bukannya kemarin aku udah bilang kalau aku yang temuin jam tanganmu?"

"Tapi aku masih belum bisa percaya alasan kamu sepenuhnya." Yongseub menepis. "Kenapa kamu bisa selalu lupa buat balikin jam tangannya di saat kita setiap hari bertemu, ada di satu tempat yang sama?"

ATTENTION ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang