Jisung tahu bahwa dia tidak seharusnya lancang menelisik properti milik orang lain.
Kejadian bocornya artikel yang rupanya hasil karya tulis seorang Jung Jaehyun benar-benar diluar kesadarannya. Jisung hanya sekedar iseng membaca beberapa patah kata yang nampak menonjol lalu berujung menggodanya untuk membaca beberapa paragraf. Disusul dengan mulutnya yang memekik keras menyebutkan apa yang barusan dibacanya—itu juga sebuah ketidaksengajaan.
Jaehyun tergopoh-gopoh datang mendekat dengan pisau dapur yang masih erat di genggamannya. Membuat Jisung sedikit berjengit kaget sebab terlalu takut dengan senjata Jaehyun saat ini.
Mulutnya gelagapan. "A-anu, kak. Aku beneran nggak sengaja. Aku pikir kakak lagi iseng tulis sesuatu, aku nggak tau kakak susun itu. G-gini aja, aku nggak akan ngomong ke siapa-siapa asal Kak Jaehyun maafin aku." Jisung menangkupkan kedua tangannya supaya permohonannya semakin kuat lewat gestur itu.
Tak tega melihat perwujudan manusia yang kelewat menggemaskannya, Jaehyun menghembuskan nafas panjangnya. Sedikit menyalahkan penampakan wajah imut Jisung yang menggoyahkan emosinya.
"Ya udahlah, nggak apa-apa. Udah terlanjur juga." Jaehyun berbalik. "Silahkan baca sampai selesai kalau kamu mau." Kemudian kakinya melangkah ke tempatnya semula. Membawa bunyi peraduan antara pisau dan alasnya menggema lagi.
Jisung terpaku. Sudah? Hanya itu saja? Dia bahkan baru mengawali permohonannya dengan beberapa patah kalimat tapi respon Jaehyun lebih lembut dari apa yang dia pikirkan.
Maka, Jisung menoleh. Menyaksikan punggung lebar itu yang tengah membiarkan bahan makanan dan racikan bumbunya menyatu dengan panasnya air mendidih.
"Kakak nggak marah karena aku baca tulisan kakak?" Jisung memperpelan ucapannya. Khawatir kalau-kalau Jaehyun berubah menggila ketika ia mengangkat permasalahan lagi.
"Nggak perlu. Aku laper jadi nggak ada tenaga buat marahin kamu." Jaehyun menyahut ketika tangan kanannya sibuk mengaduk masakan dengan sebuah sendok sayur. "Lagipula mata kamu udah liat, otak kamu udah paham apa yang barusan kamu baca. Jadi aku bisa apa? Marahin kamu juga buang-buang tenaga karena kamu nggak mungkin mendadak hilang ingatan setelah aku mencak-mencak."
Masuk akal. Meski pernyataan Jaehyun lebih menjurus ke sesuatu karena pasrah, tapi kelegaan menyelimuti Jisung ketika dia tahu bahwa lelaki Jung itu memang tidak menyimpan kemarahan atas tindakannya yang tak disengaja. Bersyukur karena Tuhan masih memberinya kesempatan supaya Jaehyun tidak seperti orang lain. Orang-orang yang seakan tak pernah menganggap dirinya ada sekalipun itu orang tuanya sendiri.
Bunyi ketukan kecil akibat bagian bawah mangkuk yang beradu dengan meja kaca, membuyarkan Jisung atas rasa bersyukurnya. Asap kecil membumbung ke udara, membawa serta harum masakan yang baru saja diangkat Jaehyun dari tempatnya.
"Kamu harus makan yang banyak. Tubuhmu kerempeng kaya lampu jalan." Jaehyun menegur sembari mengambil jatah yang lumayan untuk sarapan pagi Jisung kali ini. Disodorkannya sebuah mangkuk dengan budae jjigae yang hampir memenuhi seluruh mangkuk. "Nah, ini porsi yang pas." Disusul dengan sebuah sumpit yang mendarat di samping mangkuk itu.
"Kak Jaehyun, tapi ini kebanyakan." Jisung menggerutu kecil.
"Makan atau aku bakal pura-pura nggak kenal kamu nanti?" Jaehyun mengancam. Memberikan pilihan kejam yang benar-benar serasi dengan apa yang ditakuti Jisung beberapa menit lalu.
Menyaksikan sepasang mata itu membelalak—meski Jisung tahu itu main-main—kepalanya mengangguk patuh. Maka ketika Jaehyun tersenyum puas, Jisung sudah melahap masakan yang dibuat rela oleh tetangganya ini.
"Gimana? Enak nggak?" Jaehyun menyimak aksi makan Jisung. Anak itu kelihatan lahap menyantap makanan yang dia masak.
Kepalanya terangguk, membuat surai gelapnya ikut serta untuk bergerak naik turun. "Enak."

KAMU SEDANG MEMBACA
ATTENTION ✔️
FanficJung Jaehyun sempat mengira bahwa dirinya adalah manusia paling menderita di dunia ini. Mungkin dia terlalu nyaman menutup mata sehingga tak menyadari betapa kejamnya dunia dan berapa banyak miliaran orang di luar sana yang nasibnya lebih buruk keti...