13 Juni 2015, rumah megah lantai 2 itu berhasil jatuh atas nama Jung Jaeyol. Halamannya yang kelewat luas. Melangkah masuk, ketika pintu dibuka, interior ruang yang didominasi warna emas dan putih, bertaburan menyapa manik mata. Menciptakan kesan glamor dengan beberapa titik yang menjunjung nilai ke-estetikan desain Italia. Kombinasi kontras yang nyaman dipandang. Tiap pasang mata yang menyaksikannya, akan dipastikan gagal mengalihkan atensi mereka.
Tinggal di hunian semewah itu, Jaeyol mulai kewalahan dan sedikit digandrungi kesepian. Bisa habis 2 hari lamanya jika dirinya sendiri yang turun tangan. Menggerakkan pergelangan tangannya, mengayunkan sapu di genggamannya lantas menyingkirkan segala macam debu yang bisa menghancurkan kenyamanan huniannya. Maka, untuk pertama kalinya, dia menjatuhkan keputusan. Bahwa Jung Jaeyol akan menjadi tuan muda yang tak payah repot-repot turun sekedar mengambil segelas air. Dengan bantuan para asistennya, dia hanya akan meluruskan kakinya seharian, menimpa meja dengan kedua kakinya itu lantas mulutnya hanya berperan mengucapkan permintaannya. Dalam sekejap mata, apa yang ia minta akan segera hadir di depan jelaganya.
Sayangnya, semakin lama waktu berpijak, Jaeyol mengakui bahwa ia mulai membutuhkan lebih banyak asisten rumah tangganya. Per orang, diutus untuk menangani pekerjaannya masing-masing. Tak peduli ia merogoh kocek dalam untuk menggaji semua pekerjanya.
"Heh! Kenapa tv-nya jadi buram kayak gitu?! Salah satu dari kalian ada yang pakai ini tanpa izin ya?! Sampe rusak kayak gitu?!"
Lima wanita berjejer rapi. Dibalut pakaian serupa— hitam dan celemek putih—mereka kompak menundukkan kepala. Si tuan bos seakan lepas kandang. Bak seekor singa yang dikacau ketenangannya, Jaeyol mengaum. Matanya menelisik satu per satu dari jejeran asistennya.
"Kalian ini cuma pembantu! Seharusnya sadar kalau kalian nggak dibolehkan buat mainin benda-benda di rumah ini! Kalian cuma diperbolehkan bersih-bersih bukannya malah merusak!" Pandangannya disapukan. Menatap tajam-tajam ke arah orang-orang yang sejujurnya telah memperingan beban kerjanya selama ini. "Kok nggak jawab?! Bisu?! Atau tuli?!"
Geram, tahu-tahu sebuah tangan keriput diangkat ke udara. Menyita atensi berikutnya. Beberapa dari mereka, mulai menoleh. Harap-harap cemas akan apa yang terjadi di menit berikutnya.
"Shin Mirae." Bibirnya terbuka. Menyebut satu nama dimana sang empu mendongak terkejut-kejut. "Kemarin aku lihat dia sempat pakai televisi itu beberapa saat."
Yang diadukan mulai diserang kepanikannya. Shin Mirae, gadis lulusan sekolah dasar yang terlahir dari kalangan rendah, memutuskan untuk mengabdikan hidupnya pada sang tuan. Di usianya yang masih menginjak 23, Mirae dipaksa bekerja sekeras mungkin. Membersihkan istana mewah ini, bolak-balik memenuhi pinta sang majikan atau rela mengorbankan dirinya sekedar menerobos badai salju demi mendapatkan bungeoppang untuk si tuan.
Tak punya keberanian apapun lagi, Mirae menghambur. Bersimpuh di atas lantai bersama dengan kedua tangan yang ditangkupkan. Digesek kuat-kuat dengan arti bahwa dia benar-benar ingin diberikan pengampunan.
"T-Tuan Jung, saya mohon ampuni saya. Maaf, maaf, saya minta maaf yang sebesar-besarnya. Tolong beri saya satu kesempatan lagi. Saya benar-benar tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Saya mohon ampuni saya." Kepalanya menunduk dalam. Genangan air mata mulai memenuhi pelupuknya. Siap tumpah kapan pun. Menghantam lantai mengkilap yang memantulkan bayangannya sendiri. Amat sangat menyedihkan.
Jaeyol ikut menundukkan kepalanya. "Shin Mirae. Apa alasanmu pakai televisi ini, hm?"
Mendapati adanya penurunan nada, Mirae memberanikan diri untuk mendongak. Bola matanya bergerak tak tenang. Binarnya memancarkan bahwa ia benar-benar dililit rasa sendu dan cemasnya yang perlahan mencekik. "S-sebenarnya, saya tidak memakainya. Saya benar-benar tidak tahu-menahu kenapa televisinya sampai rusak. Tidak ada satu pun dari kami yang menggunakan benda itu sampai tiba-tiba a—"
KAMU SEDANG MEMBACA
ATTENTION ✔️
ФанфикJung Jaehyun sempat mengira bahwa dirinya adalah manusia paling menderita di dunia ini. Mungkin dia terlalu nyaman menutup mata sehingga tak menyadari betapa kejamnya dunia dan berapa banyak miliaran orang di luar sana yang nasibnya lebih buruk keti...