***
"Darimana kamu?" Arfan spontan bersikap ketus saat Rianti melangkah melewatinya yang sedang duduk di sofa ruang utama.
Merasa diabaikan Rianti, Arfan bertanya lagi. "Kamu darimana? Kenapa baru jam 11 kamu pulangnya? Nggak bilang-bilang sama aku lagi."
"Memang apa urusannya sama kamu?" balas Rianti tak menolehkan pandangan, justru fokus berjalan menuju kamar.
"Kamu sebagai istri tuh harusnya taat pada aturan suami. Bukannya mondar-mandir di luar sana nggak jelas begitu," sergah Arfan lalu melipat kedua tangan seraya berdiri dari posisi duduknya.
Rianti membuang napas kasar. Bagaimana bisa Arfan punya inisiatif menaruh kepedulian? Dia juga bukan 'suami', dia adalah sahabat. Bukan itu yang pernah disinggung suaminya?
Sejatinya Rianti barusan makan malam bersama Juan. Lagipula sebagai sahabat tak ada kecanggungan di antara mereka. Walau Rianti adalah istri Arfan, namun loyalitas sebagai sahabat Juan masih harus dia jaga. Rianti memperlakukan Arfan setara dengan Juan.
"Kamu kenapa, Mas? Malah protes? Bukannya kita sudah putuskan untuk tidak saling ikut campur urusan kita? Meski kita saling menjauh, harusnya kita hargai masing-masing kegiatan kita." Rianti mulai berbalik, protes terhadap sikap Arfan yang seolah menekannya.
"Kapan aku bilang begitu, hah?" Arfan tak mau kalah meninggikan nada suaranya. "Aku cuma minta kamu untuk lebih bersabar, sembari aku meraih impianku. Tapi, tidak etis bila kamu berbuat seenaknya tanpa bilang-bilang sama suaminya."
"Suami? Suami kamu bilang, Mas?" Rianti agak tercengang sambil mendekatkan pandangannya pada Arfan yang menggunakan kaos biasa serta celana pendek. "Memang kapan kamu berlaku sebagai suami, Mas? Aku nggak pernah merasakan hal itu, terutama dari kamu."
"Sebaiknya ke depan kamu nggak perlu pulang malam begini. Atau kalau kamu nggak dengar ..."
"Memang kamu papaku? Larang-larang aku melakukan apa pun?"
Arfan berkacak pinggang lalu membuang napasnya kasar. Seakan capek menghadapi Rianti yang tampaknya keras kepala.
"Mestinya, kamu tahu jam mana yang rawan dan jam mana yang aman. Kalau saja kamu kenapa-napa di jalan gimana? Siapa yang tanggung jawab, hah?"
Tak ragu, Rianti membuat raut kesal, langsung di hadapan Arfan. Sambil membalas ucapannya. "Terus kalau aku kenapa-napa, memang kamu mau datang nyelametin aku? Di awal-awal, kamu nggak nganggep aku istri kamu, kan? Kita cuma sahabat. Harusnya nggak ada yang nyinggung jam berapa harus pulang, aturan ini dan itu."
"Meskipun begitu, tetap aja kita suami-istri, Rianti!" jerit Arfan. "Sekali lagi, aku cuma mau kamu bersabar sampai mendapatkan apa yang kamu inginkan. Dengan begitu, kita bisa ..."
"Kita bisa apa? Menggantungkan perasaan aku lagi, begitu?" Rianti tak kalah keras suaranya, menyela setiap ucapan Arfan.
"Berani kamu, lawan suami kamu?" Arfan menyolot, tatapannya tajam hingga jarak pandangannya mengikis, dan membuat posisi seakan-akan ingin bertarung.
"Berani!" Rianti berteriak dan bola matanya membelo. "Karena kamu nganggep aku sahabat. Bukan istri. Kamu sendiri kok yang bilang. Jadi kalau seperti itu, aku bebas dong mau pulang jam berapa. Kenapa kamu yang ngatur?"
Rianti menghentakkan kedua kakinya setelah membalikkan badan untuk masuk dalam kamar. Begitu berada di depan ranjang, Rianti melepaskan tas selempang yang mengait tubuhnya dan melempar begitu saja di sembarang tempat.
"Mas Arfan itu kenapa sih? Aku datang jam 11 malam, kenapa dia jadi marah-marah?" tanya Rianti heran. "Dia juga sendiri bilang kalau kita cuma sahabat. Kenapa dia peduli sama jam pulangku?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Find the Real Love
RomanceSibuk sebagai dosen membuat Arfan tidak punya waktu untuk hal romantis. Hingga terbuai oleh ambisi justru membuatnya dibenci karena terang-terangan mengatakan tidak menyukai wanita. Sampai saat menyadari Rianti selalu mendekatinya, Arfan pun memilik...