***
Esok hari–tepatnya sepulang dari aktivitas mengajar, Rianti meminta Arfan mengantarnya pulang. Mumpung, Arfan juga sudah selesai mengajar jadi bisa barengan.
Begitu mereka berdua dalam mobil, Arfan menjadi kikuk ketika menyalakan mesin kendaraannya. Lama sekali mereka tidak satu mobil. Ketika mereka mulai berdamai, mereka belum mau berangkat bareng ke kampus. Pun saat mereka sampai kampus barulah mereka berdampingan berjalan sepanjang wilayah kampus.
Baguslah, gumam Arfan ketika Rianti dengan telaten memasang sabuk pengaman mobilnya.
"Ada yang mau aku omongin juga, jadi kebetulan banget mau minta antar," celetuk Arfan sambil tersenyum hangat.
"Sebelumnya, kita mau makan di luar atau ..." Rianti menghentikan omongannya, kala mengingat dia terlalu blak-blakan dengan sang suami.
Meskipun Rianti sejatinya senang dengan perubahan Arfan, namun Rianti tetap harus menjaga sikap. Dia ingin Rianti bersikap natural di hadapan Arfan. Bagaimanapun, dia harus terbiasa dengan sikap Arfan yang terkadang banyak diamnya itu.
"Atau apa?" Arfan menunggu Rianti menyelesaikan ucapannya.
"Atau kita pesan daring aja?" Rianti menawarkan opsi dengan lancar.
"Pesan daring. Kebetulan aku malas singgah-singgah. Kepengen aja gitu nyantai di apartemen." Setelah mengatakan itu, Arfan membuang napas seakan memperlihatkan rasa capeknya pada Rianti.
Arfan mulai memutar kemudi untuk keluar dari wilayah kampus. Sepanjang perjalanan, Arfan tak bisa mengajak kepalanya untuk berpikir. Apa yang sebaiknya dia obrolkan kepada Rianti? Mana Rianti juga tak inisiatif buka mulutnya lebih dulu.
Apa perlu dia membuka kejujuran lainnya kepada Rianti? Dia ingat dirinya sempat membuat sandiwara ketika mulai menerima Rianti yang dulu mengejarnya secara ugal-ugalan. Dia terpaksa berbohong saat mengikuti kencan sebelum pernikahan. Bahkan dari wajah sumringahnya dahulu, itu dibuat-buat.
"Emm, Rin." Arfan memanggil, ketika mereka berada di depan lampu merah.
"Ya, Mas?" Rianti peka terhadap panggilan Arfan lalu merespon.
"Kamu tahu nggak dulu, waktu kamu pertama kali ngejar-ngejar aku? Waktu di kantin juga, kamu duduk barengan sama aku?"
Rianti bersikap heran kemudian berusaha menanggapi sebisanya. "Iya, benar. Aku kan melakukan itu biar kamu peka."
"Betul. Tapi kamu tahu, saat kita mulai melakukan pendekatan? Yang waktu itu aku dihujat karena tidak menyukai wanita? Kita kan mulai kencan, kan?"
Rianti mengangguk tanpa bersuara.
"Aku ingin buat pengakuan kalau ..." Arfan menelan salivanya, ragu-ragu buat berucap. "Aku bohong. Aku cuma membuat wajahku seolah-olah antusias dengan apa yang bakal kita lakukan ke depannya saat itu. Makanya, aku nggak enak aja kalau aku sembunyiin."
Jadi Arfan yang katanya nyaman dengan perlakuan romantis itu kala mereka kencan, berarti cuma bohongan? Sekali lagi, Rianti hanya menganggap hal tersebut biasa saja. Tidak harus dia besar-besarkan. Toh cuma masa lalu.
"Kamu merasa nggak enak, bila harus menahan rahasia kamu itu?" tanya Rianti menduga.
"Aku cuma mengungkapkan semuanya agar nggak ada lagi rahasia di antara kita." Arfan menggigit bibir sebelum melanjutkan ucapannya, tak lupa memegang erat-erat kemudinya di tangan bagian kanan. "Mungkin, cuma aku yang punya banyak rahasia. Sementara kamu pasti tidak."
Memang benar harusnya, Arfan ingat Rianti tidak pernah memiliki rahasia. Pun kalau ada pun, Rianti pasti terbuka terhadapnya. Namun bila diingat lebih dalam, Rianti memang tak ada rahasia sama sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Find the Real Love
RomanceSibuk sebagai dosen membuat Arfan tidak punya waktu untuk hal romantis. Hingga terbuai oleh ambisi justru membuatnya dibenci karena terang-terangan mengatakan tidak menyukai wanita. Sampai saat menyadari Rianti selalu mendekatinya, Arfan pun memilik...