Bab 5

161 24 1
                                    

***

Kepada semua followers saya yang sekiranya karena sikap saya membuat kalian dirugikan, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Apabila perkataan saya di podcast bikin beberapa pihak sakit hati.

"Tumben Pak Arfan minta maaf di insta story." Juan terkejut melihat isi dari bulatan warna terbaru dari media sosial Arfan, yang mengungkap bahwa Arfan hanya ingin mengejar karir dan tidak bermaksud untuk menyinggung. Arfan juga mengakui bahwa dia kurang menyukai cewek genit yang tidak mengetahui arti cinta. Arfan menegaskan dia mengucapkan hal tersebut di podcast namun dari tim acara podcast tersebut yang men-cut bagian ucapan Arfan yang seharusnya.

"Rin. Lihat ini deh." Juan yang posisinya berhadapan dengan meja kerja Rianti pun lantas menyodorkan layar ponsel miliknya dan menampilkan video permintaan maaf Arfan yang ternyata diunggah juga di saluran YouTube. "Jujur ya. Ini udah beberapa hari setelah beritanya Pak Arfan memanas, terus dia langsung posting permintaan maaf. Apa mungkin komentar buruk terhadap Pak Arfan makin meradang ya?

"Orang-orang masih kebawa emosi karena ucapan Pak Arfan. Walau minta maaf pun, tak bakal meredakan amarah mereka," ucap Rianti menuturkan opini. "Mungkin saja Pak Arfan mau menyelamatkan reputasinya sebagai seorang influencer, daripada tinggal diam begitu saja, kan?

"Padahal kalau nggak salah Pak Arfan bela-belain ke Jakarta cuma buat memenuhi undangan dari podcast itu. Secara Pak Arfan juga punya loyalitas tinggi di kampus, tapi pertanyaan dari si host juga ... kurang nyenengin." Juan menggeleng dan mengungkap tidak setuju terhadap situasi terkini hingga membuat masalah menuai besar. "Cuman kalau diingat-ingat, beberapa waktu sudah berlalu. Rekan dosen kita akhirnya tidak terlalu membenci Pak Arfan. Beruntung juga Pak Arfan jadi ada inisiatif buat akrab sama kita."

Rianti membenarkan. Arfan benar-benar punya inisiatif untuk berbaur pada rekan sesama dosen, bahkan kepada dirinya. Membuat Rianti seketika lupa terhadap masalah yang dihadapi Arfan tersebut. Rianti enggan mengingatnya lagi, pendekatannya terhadap Arfan menjadi peluang besar baginya.

"Ngomong-ngomong, Pak Arfan belum datang ya ke kampus? Apa dia sibuk?" tanya Juan menerka-nerka. Kini Juan sedang menoleh ke kanan dan ke kiri. Mencari-cari keberadaan rekan dosennya yang super baik itu.

"Mungkin datangnya siang, Ju. Sabar. Biasanya kan Pak Arfan datang siang, atau kalau nggak datang sama sekali, paling dia kasih daring ke mahasiswanya atau asinkronus jika nggak ingin lama-lama di depan laptop," jelas Rianti hanya sekadar menebak. Rianti kadang sering hafal jam kedatangan Arfan. Biasanya antara jam dua atau ngaret di sore. Paling mentok di jam setengah dua.

"Ini sudah jam satu loh, Rin." Juan mengecek jam tangannya memastikan. "Mana jam mengajarnya Pak Arfan sebelum jamku. Jam mengajarnya itu aku tahu betul."

"Sabar dong Pak Ju. Pak Arfan nggak bakal lari kok. Tunggu aja dulu," kekeh Rianti semata-mata ingin menghibur Juan yang mulai menunjukkan kegundahan.

"Iya sih. Gara-gara berita itu, Pak Arfan sungguh-sungguh inisiatif berubah dan sempat baik pula traktir makanan untukku di CPI. Setahuku harga di sana agak 'mehong', hehe. Nggak kebayang sih Pak Arfan yang tadinya anti sosial justru berinteraksi baik pada rekan dosennya." Juan mengomentari perubahan sikap Arfan, tak lupa sambil menopang dagu dengan kedua telapak tangannya.

Rianti tertawa pelan kemudian ikut mengutarakan pendapatnya. "Ditambah lagi dulu Pak Arfan nggak banyak omong dan nggak punya teman, karena ambisinya buat jadi dosen terbaik. Terus suka balik duluan dari kampus, dan enggan bicara sama kita.

"Cuma sekarang ini, kuakui sih Pak Arfan kinerjanya bagus banget, akibat kerja kerasnya selama beberapa bulan." Rianti langsung saja memberikan apresiasi berupa mengangkat satu jempolnya rendah.

Find the Real LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang