Bab 6

176 20 1
                                    

***

Berita tentang Arfan makin meradang. Meskipun Arfan telah mengutarakan klarifikasi lewat sosial media, namun tetap saja beberapa mahasiswa tidak menerima karena pengakuan Arfan yang dinilai sensitif. Mereka bersikeras memandang Arfan adalah pria penyuka sesama jenis, dan menolak untuk didekatkan oleh seorang wanita. Begitulah, cuma beberapa yang menerima, namun sebagiannya lagi masih denial.

Seperti saat ini. Arfan bahkan selang-seling hadir di kampus, itu saat sepekan lalu. Kini, dia mendapat tatapan sinis oleh para mahasiswi yang sedang nongkrong dekat gedung fakultas. Lebihnya lagi, ada segerombolan gadis berjumlah empat orang spontan membuang muka kala Arfan menatap mereka. Setelah Arfan melewati segerombolan tersebut, mereka langsung melempar ledekan yang terdengar mengejek. Beruntung, Arfan cuma mendengar samar dan mempercepat langkahnya menuju kantin.

"Coba lihat, jalannya santai sekali," kata Junita memasang wajah sebal. "Kalau maho ya tetap maho."

"Setuju," timpal Jenny, gadis berambut cokelat dan panjang gelombang itu. "Dosen seperti dia nggak bakal ada yang disukai cewek-cewek. Setelah kita tahu klarifikasinya yang bilangnya cuma kejar ambisi, tapi kejar ambisi yang kek gimana? Kejar laki sih iya."

Gadis rambut bob itu menyela di samping Jenny. "Dia ganteng sih, cuma caper."

Mendengar Junita berkata begitu, membuat ketiga teman lainnya tertawa. Mereka sambil berjalan menuju depan gedung kampus setelah barusan mengisi perut di kantin.

"Habis ini Pak Arfan bukannya ngajar di kelas kamu ya, Karin?" tanya Jenny pada orang di sebelah kirinya. "Mampus, kamu kan kasih komentar buruk di postingan terbarunya Pak Arfan dan jelas-jelas kamu bilang ke beliau 'maho' dengan capslock yang jelas."

"Iya nih." Karin menjawab dengan lesu. Gadis berambut panjang lurus itu seketika mengerucutkan bibir, memikirkan nasib yang terjadi jika Arfan tahu dirinya yang mengirim komentar kekanakan sekaligus ejekan itu. "Apa nanti Pak Arfan nausirka' (mengusirku) dari kelasnya? Kan jelasmi itu username-ku di komentar Instragram."

"Biarin aja," sela Junita. "Kalau dosen 'moha' itu ngusir kamu, kita jalan-jalan. Kita ke Mall Nipah, karena aku nggak ada jadwal kuliah lagi setelah ini."

"Memang nggak ada jadwal?" tanya Ulfa kebingungan. Dia berada di posisi ujung sebelah kanan dekat Karin. "Pak Hari kan ..."

"Pak Hari lagi ada kegiatan di luar, jadi asinkronus aja," jawab Junita santai, tapi mengandung antusias di dalamnya. "Kabarin aku kalau memang kamu benar-benar diusir. Kita ke Miniso, beli parfum. Gimana?"

Karin yang sempat menunduk itu cuma mengangguk kaku. Lagi dan lagi, dia berada di antara iklhas dan pasrah jika dosen Interaksi Manusia dan Komputer itu mengusirnya dari kelas. Padahal Karin sangat ambisius dibanding teman-temannya yang lain.

Dosen wanita rambut long-bob yang tiba-tiba muncul itu spontan mengalihkan perhatian keempat gadis tersebut. Lalu Junita lebih dulu membungkuk untuk memberikan salam hormat.

"Selamat siang, Bu Rianti," sapa Junita sopan. "Ibu mau ke kantin ya?"

Dengan lembut, Rianti menjawab sapaan mahasiswinya. "Iya. Kalian sudah makan, bukan?"

"Iya, Bu. Sudah," balas keempatnya serempak lalu diikuti anggukan pelan dari Rianti.

"Kalian jangan lupa tugasnya ya. Kumpul di e-learning kampus kita." Rianti tentu tidak akan melupakan bagaimana dia memberikan tugas pada empat mahasiswi di depannya. Rianti harus jadi pengingat agar tidak ada yang semena-mena di kelasnya.

"Baik, Bu. Kami ndak lupakan tugasnya," jawab Karin menampilkan sedikit senyumannya.

"Ibu duluan ya." Rianti pamit kemudian keempat mahasiswi tersebut memberikan jalan pada Rianti dan kakinya berjalan lurus hingga agak berbelok menuju kantin kampus.

Find the Real LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang