***
Selesai mengajar, Rianti bergegas keluar dari ruangan 20-2 yang terletak di sebelah kiri koridor. Ketika Rianti melangkah dengan mantap, lurus menuju lift, tiba-tiba Rianti berpapasan dengan mahasiswi yang sudah dicapnya bermasalah itu.
Benar, rambut bergelombang dengan cardigan yang melekat di tubuh seolah menjadi ciri khas gadis itu. Bunga. Asisten dosen Arfan yang tak memiliki attitude. Rianti memutuskan membidik pandangan pada Bunga, dia menatap tajam gadis tersebut.
"Kamu nggak punya rasa bersalah?" Rianti langsung pada topik utama. "Sepertinya kamu memang nggak punya hati nurani ya. Kamu bahkan nggak ingat apa yang kamu lakuin ke Ibu."
Bunga membalas dengan senyuman miring. "Mau apalagi? Kan sudah jelas. Ibu udah nyusahin Pak Arfan. Istri macam apa yang sering buat Pak Arfan merasa sulit, apalagi Ibu yang memaksa pernikahan?"
"Jangan bilang kamu tahu semua masalah di antara rumah tangga kami?" Rianti menebak kemudian menegakkan telunjuk seakan ingin mengungkap sesuatu. "Bila benar begitu, ya. Awalnya pernikahan kami terpaksa karena Mas Arfan dihujat tidak menyukai wanita. Juga kami yang harus menunda kewajiban kami."
Rianti melanjutkan ucapan sambil jaraknya berdekatan dengan mahasiswi di depan. "Dan asal kamu tahu, Bunga. Mas Arfan ada alasan tertentu dia tak bisa melakukannya. Ibu maklumi itu, Ibu bisa nunggu kalau Mas Arfan-nya sudah siap. Kamu tentunya nggak ada hak untuk ikut campur masalah rumah tangga kami."
Rianti mencondongkan kepala dan berbisik tepat di telinga Bunga. "Kamu hanyalah gadis yang bisanya cuma baper, mentang-mentang kamu kerja sebagai asisten dosen Mas Arfan.
Setelah melakukannya, Rianti menjauhkan pandangannya lalu menatap Bunga sekali lagi. "Sebagai mahasiswa yang baik, bukankah seharusnya kamu minta maaf? Kamu sudah kelewatan."
Bunga melipat kedua tangannya sambil maju satu langkah mendekati Rianti. "Meskipun beribu-ribu kali Ibu mendesak saya buat minta maaf, saya nggak akan lakuin itu."
Sembari berbalik 90 derajat untuk mengarahkan tujuannya ke kelas, Bunga memegang pundak Rianti dari sebelah kiri. "Asal Ibu tahu. Saya bukan lagi asisten dosennya Pak Arfan. Saya dipecat. Selamat, Bu. Ibu udah dapat Pak Arfan seutuhnya, meskipun nanti saya juga punya berbagai cara agar kalian bisa pisah."
"Silakan. Ibu nggak takut." Rianti terperangah justru merasa tertantang. "Toh Mas Arfan juga udah benci sama kamu. Dia nggak menjadikan kamu asisten dosennya lagi, dan tentu saja. Mas Arfan lebih milih aku daripada kamu. Karena kenapa? Kami memang ditakdirkan bersatu. Kamu harus ingat itu, Bunga sayang."
Rianti dengan sikap savage meninggalkan Bunga dan memantapkan langkah memasuki lift untuk turun ke bawah. Karena tumitnya yang sakit jadi tidak diharuskan untuk menuruni tangga.
Jadwalnya sudah selesai dan berhak untuk pulang. Namun dia merasa ingin jalan-jalan sebentar untuk merilekskan pikiran.
Dengan niatnya barusan, Rianti membuka ponsel dan berniat memesan ojek online. Tapi tiba-tiba, dia mendapat pesan. Seperti sebuah ajakan. Dari Arfan–suaminya.
(Malam ini ayo kita makan malam. Aku ingin ngobrol sesuatu sama kamu.)
***
Malam hari, Arfan menunggu di sebuah warung yang terletak satu wilayah dengan gedung apartemen miliknya. Arfan berada di warung makan yang menyediakan menu-menu sederhana seperti orek tempe, sayur sop, ayam balado, dan masih banyak lagi. Arfan memilih memesan makanan terlebih dulu, dan kebetulan juga dia sudah santap sebagian nasi campur miliknya.
"Duh mana sih Rianti? Katanya jam 8 udah mau ke sini." Arfan mengeluh kemudian mengecek jam di pergelangan tangannya. "Tuh, udah lewat 15 menit lagi. Apa dia singgah di minimarket dulu ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Find the Real Love
RomansSibuk sebagai dosen membuat Arfan tidak punya waktu untuk hal romantis. Hingga terbuai oleh ambisi justru membuatnya dibenci karena terang-terangan mengatakan tidak menyukai wanita. Sampai saat menyadari Rianti selalu mendekatinya, Arfan pun memilik...