***
"Mas. Kenapa berangkat ke kampusnya cepat banget tadi? Malah nggak bilang lagi kalau mau ke kampus." Rianti bertanya sekadar mengkonfirmasi. Padahal di apartemen barusan, Rianti berdandan dulu biar terlihat maksimal di hadapan sang suami. Tetapi nyatanya setelah berbenah, Rianti malah ditinggal Arfan. Bahkan tanpa pamit sama sekali.
Sore hari, Arfan dan Rianti bergegas untuk balik ke apartemen. Mereka berpegangan tangan, namun Arfan tidak menggenggam punggung tangan Rianti. Cuma pegangan tangan biasa. Mereka beriringan jalan menyusuri lorong kampus di lantai satu.
"Tadi ... aku buru-buru. Soalnya dipanggil Pak Hari, katanya minta pertolongan." Arfan menjawab dengan sedikit terbata-bata.
Bukan tanpa alasan dia meninggalkan Rianti dan tidak memberi pesan untuk berangkat sendiri-sendiri. Seperti prinsip hidupnya, dia tidak mau sering dekat-dekat dengan Rianti. Frekuensi pendekatan mereka harus dikurangi. Cuma di kampus, mereka bersikap romantis. Apabila di luar, Arfan akan berlagak seperti orang asing. Arfan juga enggan menjadi suami yang buruk buat Rianti. Bersikap cuek saja sudah cukup baginya. Harap-harap Rianti tidak meminta lebih darinya.
"Minta pertolongan apa?" Rianti bertanya lagi, seakan-akan penasaran terkait apa yang dilakukan suaminya sampai terburu-buru pergi dari apartemen hingga membuatnya harus naik taksi daring sendirian.
"Emm ... dia minta software buat pengolahan data. Katanya dia tidak tahu, jadi dia minta bantuanku untuk cari software yang bagus untuknya." Arfan berkilah, tentu hanya beralasan semata. Namun untungnya, Rianti membalas dengan anggukan paham. Membuat Arfan sedikit bernapas lega, Rianti tidak bakal menanyainya macam-macam.
"Kamu lapar? Mau makan sesuatu?" tanya Arfan menawarkan sesuatu, begitu mereka berjalan mendekati parkiran mobil. Arfan punya tujuan melempar tawaran agar tak terlalu mendiamkan Rianti. Bisa-bisa Rianti bertanya hal aneh terkait perubahan sikapnya.
"Emm ... mau makanan beku yang dihangatin?" Rianti balik menawarkan. "Aku tetiba pengen makan itu, terus minumnya es kopi."
Arfan menarik napas pelan sebelum membuka pintu mobil, kemudian langsung mematri senyum tepat di seberang Rianti. "Boleh. Di minimarket kan yang ada?"
Rianti menjawab setelah memasuki mobil. "Iya. Untuk itu aku yang traktir. Karena BM banget soalnya."
Arfan menyetujui dengan satu jentikan jari pelan. "Boleh." Berikutnya, Arfan mulai memasukkan kunci mobil kemudian menyalakan mesin. Barulah setelah itu, Arfan memundurkan mobil lalu melaju lurus untuk keluar dari pekarangan Universitas Jayabhakti.
Selama perjalanan, Arfan memandang sedikit Rianti yang jenuh memandang luar jendela. Sikapnya mendadak lain kelihatannya. Tampak mulut Rianti tertarik ke bawah membentuk lengkungan yang dalam. Arfan menduga kalau pasti Rianti cemberut, sebab tahu dirinya pergi meninggalkan Rianti tanpa pamit.
Namun di sisi lain, Arfan merasa bahwa Rianti dibatasi olehnya dan tentu Rianti ingin sekali berbuat lebih dengan kewajiban Rianti sebagai istri.
Masalah nafkah, Arfan tidak pernah absen melakukannya. Begitu Rianti butuh sesuatu, Arfan bakal memberikannya dalam bentuk tunai ataupun transfer. Sekali lagi, Arfan tidak akan mungkin tega terhadap Rianti. Cuma masalah perasaan saja, dia bersikap cuek sewaktu-waktu.
"Mas. Malam ini, apa kamu mau ..." Rianti bersuara, namun spontan Arfan menyela dengan berdeham.
"Hmm?"
"Eh, maksudku ... kita kan nyaris sebulan menikah. Apa kita nggak ngelakuin ..."
Rianti mendadak gugup. Dia mengutarakan niat agar melakukan apa yang seharusnya suami-istri lakukan. Pastinya dia tahu terkait hal tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Find the Real Love
RomanceSibuk sebagai dosen membuat Arfan tidak punya waktu untuk hal romantis. Hingga terbuai oleh ambisi justru membuatnya dibenci karena terang-terangan mengatakan tidak menyukai wanita. Sampai saat menyadari Rianti selalu mendekatinya, Arfan pun memilik...