Bab 2

362 40 3
                                    

***

"Bapak ngajar ya hari ini? Tumben, biasanya Pak Arfan ngajarnya siang," kata Rianti seraya mendekati Arfan dengan semangat.

"Hari ini kelas tambahan. Karena pekan lalu saya nggak masuk," jawab Arfan jelas. "Terus kok Bu Rianti cepat banget masuk ke kampus? Bukannya Ibu punya jadwal sore buat kelas karyawan?"

Rianti terkesiap mendengarnya. Padahal dia belum pernah berpapasan dengan dosen yang dia suka itu, tapi kenapa bisa Arfan hafal dengan jadwalnya? Apa Arfan belakangan ini datang ke kampus dan Rianti tidak menyadarinya?

"Sama dengan Bapak, ada kelas tambahan. Saya sempat sakit sepekan lalu makanya nggak ada pertemuan," jawab Rianti sempat merasa gugup.

Arfan mengangguk paham. Mereka saling berhadapan kemudian tanpa kata-kata hanya berdiri mematung, saling menatap pakaian masing-masing.

"Kon iki ngapain? Lihat-lihat saya gitu?" tanya Arfan tak terima penglihatan Rianti terus mengarah padanya. "Ada yang salah sama pakaian saya?"

Arfan dengan percaya diri menunduk dan mengecek kemeja miliknya. Terlihat tidak ada masalah sama sekali.

Namun sekejap kemudian, mulut Arfan terbuka sempuna, rupanya mengingat sesuatu. "Atau jangan-jangan, Ibu tahu soal saya yang tidak suka cewek di podcast itu? Yang bikin saya ditatap sinis sama orang-orang kampus?"

Rianti menggeleng kencang seakan ingin berkilah. "Nggak. Nggak, pak. Cuman hari ini, Bapak lebih rapi dibanding sebelumnya."

"Mosok?" Arfan tak percaya perkataan Rianti barusan. "Dari dulu juga saya pakaiannya rapi-rapi. Memang Ibu pernah lihat saya nggak rapi dalam berpakaian?"

Tanpa ada penambahan kata, Arfan mulai mendorong pintu ruang dosen, membiarkan Rianti berdiri begitu saja. Tidak ada tanggapan apa pun dari wanita itu.

"Rin. Nggak masuk kamu?" Suara seorang pria dari arah belakang mengalihkan atensi Rianti di depan pintu. Rianti berbalik lalu tersenyum sumringah kala Juan datang menghampirinya dengan tas punggung warna hitam serta jaket kulit krem.

"Kamu tadi bicara sama Pak Arfan kah?" tanya Juan menebak. Dia tidak salah lihat, barusan saat memasuki gedung kampus, dia menangkap dua orang sedang berbincang serius di depan ruang dosen.

"Pak Arfan dapat hujatan nggak ya selama masuk dalam kampus ini?" Juan menerka-nerka.

"Pastinya dapat sih, dia juga belum bicara apa-apa di sosmed-nya. Paling nunggu situasi mereda baru dia speak up," kata Rianti meluruhkan ketegangan sambil membuang napasnya pelan. "Aku yakin Pak Arfan pasti nggak begitu orangnya, mana mungkin dia tidak suka sama cewek? Apalagi dia laki-laki. Pak Arfan juga nggak pernah menunjukkan penyimpangan dia, mustahil suka sama yang sejenis. Geli sih kalau kubayangin."

Juan mendelik curiga. "Belain Pak Arfan banget ya. Mentang-mentang kamu nge-crush-in dia jadi kamu buat argumen seolah-olah Pak Arfan bukan orang yang seperti itu. Katanya mau diam dulu agar jati dirimu tidak terbongkar sama dia."

"Iya, aku berusaha diam. Tapi ... kalau kubaca komentar-komentar di akun gosipnya, rasanya gatel banget pengen balesin," rajuk Rianti sambil memajukan bibir bawahnya.

Balasan Juan hanya tawa pelan serta gelengan kepala yang kaku. "Ya udah deh, crush-nya Pak Arfan. Jangan bosan-bosan belain Pak Arfan ya." Juan memberi kesempatan tangannya menyapu pucuk kepala Rianti sebagai tanda persahabatan. "Aku juga yakin sih Pak Arfan nggak kayak gitu orangnya. Apalagi kan aku hafal sikap Pak Arfan bagaimana, nggak pernah nunjukin hal aneh. Meskipun, Pak Arfan sering banget kabur dari kita karena kesibukannya di luar kampus."

"Waktu di podcast itu sih, aku sempat bingung dengan sikapnya? Apa disengaja dia atau gimana?" tambah Juan dengan bertanya penasaran.

"Keceplosan mungkin ya," tebak Rianti, menyinggung terkait kata-kata sensitif yang dilontarkan Arfan di podcast.

Find the Real LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang