Bab 3

272 31 2
                                    

***

"Kamu harus ngomong yang sejujurnya sama papa dan mama, soal apa yang kamu omongin di podcast itu," kata Fikri tak menolehkan pandangan dari steik yang dia potong menggunakan pisau.

Arfan terperanjat, kala ingin mengambil kentang bumbu dengan garpu. Apa perlu sampai sejauh itu untuk mengklarifikasi kesalahannya, terlebih di depan kedua orang tuanya?

"Meski papa sama mama sibuk dengan pekerjaan mereka, tapi mereka ndak pernah ketinggalan berita. Terus, hujatan terhadap kamu makin bertambah. Wes akeh akun gosip sing repost omonganmu, malah nggawe-gawe tembung intimidasi seolah-olah sing kon omong iku bener*," tambah Fikri kemudian menyuap daging medium-well ke mulutnya.

*(Sudah banyak akun gosip yang repost pernyataan kamu, bahkan mereka buat kata-kata intimidasi seolah yang kamu ucapin itu benar)

"Pantes, abang semangat betul ajakin aku ke sini, ternyata mau bahas itu?" duga Arfan seraya mendecih. "Kalau kayak gini mending via WA ae, kon ojo nyusahno aku utawa kudu liwat acara mangan-mangan ngene iki. Aku wes muak mbahas iku terus."

*(jangan nyusahin aku atau harus melalui acara makan-makan begini. Aku muak bahas itu terus.)

"Ini masalah serius, dek." Fikri menekankan nada bicaranya, bahkan garpu serta pisau ditaruhnya keras hingga menimbulkan dentingan piring yang nyaring. "Orang-orang pada nggolehi (cari tahu) identitas kamu, dan mereka tahu kalau kamu itu anak pimpinan perusahaan brand makanan."

"Memang harus ya sampai segitunya?" Arfan membalas tak kalah kencang. "Cuma karena ngomong nggak suka cewek lan gak duwe waktu gawe pacaran, makane mereka mandang aku sebagai pria sing anti romantis?"

*(dan nggak ada waktu buat pacaran, makanya orang-orang memandangku sebagai pria yang anti romantis?)

Arfan melanjutkan sambil menarik napas kasar. "Jelaslah, cuma ngomong aku nggak suka cewek gatel, malah tim podcast mereka justru cut bagian itu. Aku yakin, mesti ono sing gak seneng karo popularitasku, nganti kudu main kotor koyok ngene. (pasti ada yang nggak suka sama popularitasku, bahkan harus main kotor kayak gini.)"

"Tetep aja, dek." Fikri lagi-lagi menekankan ucapannya. "Masalahnya itu sampai pada keluarga kita. Kamu tahu ndak?"

Arfan tak dapat membuka mulut bila Fikri sudah memanas seperti itu.

"Lihat dari pengaruh yang kamu buat itu, dek. Papa yang tahu kamu ngomong gitu, mendadak pusing sampai harus limpahin tugasnya sama abang. Mosok kon ora kasian karo papa? (Memang kamu nggak kasihan sama papa?) Kalau papa nanti jantungan, gimana? Tahu kalau anaknya nggak suka cewek dan banyak yang anggap kamu itu penyuka laki-laki?"

Fikri tetaplah kakak yang tegas untuk adiknya. Arfan bahkan tak punya kekuatan buat melawan, karena tahu usia dari orang di depannya terpaut lebih tua.

"Paling lusa, ada makan malam di rumah. Papa sama mama langsung ke rumah dan bahas semuanya pada kamu." Fikri menyudahi obrolan seraya meluruhkan ketegangan dan lanjut memotong steik-nya.

"Baguslah bukan besok," celetuk Arfan. "Besok tuh aku ada acara kumpul rekan sesama dosen, di kafe CPI. Maybe sampai larut malam."

Fikri hanya membalas dehaman ringan. Fokusnya kini teralih pada makanan utama. Demikian juga sang adik.

"Dek, kon iki nggak berbuat nekat, kan?" Fikri bertanya memecah hening.

"Berbuat nekat apa, bang?" Arfan bingung.

"Itu loh. Balesin komentar jahat mereka." Fikri memperjelas pertanyaannya.

"Haduh, abang ini mikirnya jauh," balas Arfan jutek. "Yo nggaklah. Gawe opo (Buat apa) aku balasin semua komentar mereka nang di akunku atau akun gosip? Biarin ae mereka hate comment, paling capek dewe."

Find the Real LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang