Bab 22

96 5 1
                                    

***

"Apa kamu ... takut jatuh cinta? Ada kok, phobia seperti itu. Jadi maksudnya ..."

"Benar. Makanya aku membuat hal yang nyatanya mengorbankan jati diriku. Dengan bilang ... aku tidak suka wanita. Dan bikin aku dihujat."

"Jadi Mas Arfan tidak punya perasaan cinta, karena takut ditinggal?" Rianti bergumam, sekali lagi ingin menarik kesimpulan dari obrolannya dengan Arfan semalam. "Karena mamanya, dia jadi seperti itu? Terus Bu Gina, bukan mama kandungnya Mas Arfan, melainkan mama sambungnya?"

Rianti sedang membuat sarapan di dapur, mendadak melamun ketika memanggang roti. Begitu suara desisan di wajan menyelinap ke dalam alat pendengarannya, spontan Rianti memanggil kesadarannya dan langsung membalikkan roti tersebut yang telah diolesi dengan mentega.

Sekadar informasi, Rianti dan Arfan benar-benar berdamai pada malam itu. Rianti sungguh membuka diri terhadap Arfan dan berjanji akan menjaga sikapnya selagi itu tidak membuat Arfan marah.

Rianti banyak pikiran kali ini. Bukanlah tentang alasan Arfan tidak punya rasa cinta, melainkan pertemuan perkuliahan yang makin jauh. Terlebih Rianti belum menyiapkan soal buat UTS pekan depan. Perlukah meminta bantuan Arfan, secara dia sudah baikan dengannya?

"Kamu lagi buat apa? Buat roti?" Suara Arfan menggema dari ruang utama. "Sepertinya enak. Kamu bikinin juga untuk aku, kan?"

Mendengar pertanyaan itu spontan membuat Rianti menunduk sebentar, dan tersadar kala Rianti cuma membuat satu lembar roti. Pun persediaan roti sudah habis, satu-satunya yang Rianti ambil dari kemasan roti di mana kini menunjukkan kekosongan.

"Yah, aku lupa buatin," decak Rianti merasa bersalah. "Gimana ini? Apa perlu aku ke minimarket bawah untuk belikan roti tawar baru?"

Rianti menawarkan cepat sambil mematikan kompor. Saat tergesa-gesa membuka celemeknya serta mengikat rambutnya cepol, lantas ditahan oleh Arfan dengan teriakan.

"Nggak, Rin! Nggak usah!" Arfan merentangkan satu tangan sejajar dengan dada. "Jangan, Rin. Aku beli nasi kuning aja di dekat apartemen. Biar aku yang turun aja."

Rianti sejenak melihat penampilan Arfan yang masih setengah, alias belum menggunakan setelan kemeja dan hanya menggunakan celana chino buat outfit ke kampus. Kaos putih polos terlekat di badan suaminya. Sepertinya bila Arfan turun dengan keadaan masih bersiap-siap, rasanya kurang etis. Apalagi Rianti yang jam masuknya lebih lambat dari Arfan.

"Kamu ganti baju aja, Mas. Biar aku yang turun beliin kamu nasi." Rianti memerintah kemudian sungguh melepas celemeknya dan berjalan menghampiri Arfan.

"Mana uangnya? Katanya mau nasi kuning, kan?" Tangan Rianti menengadah begitu berdiri di hadapan Arfan.

Pria tersebut memeriksa belakang celananya dan menemukan dompetnya. Barulah dia mengeluarkan selembar uang merah pada Rianti dan memberikan permintaan yaitu nasi kuning ayam kecap dan lauk mie yang banyak.

"Kalau kamu mau beli nasi kuning juga silakan," ucap Arfan berinisiatif memberikan tawaran. "Roti yang kamu bikin itu, jadiin bekal untuk ke kampus."

Rianti terdiam ketika niat berjalan menuju foyer dan langsung menoleh menatap sang suami. Beberapa detik, dia mulai menampakkan senyum meski tidak merekah.

"Iya, Mas Arfan. Aku beli juga untukku."

Saat Rianti benar-benar pergi, Arfan mengecek dapur. Penasaran dengan hasil kerja Rianti pagi-pagi. Rupanya Rianti sungguh lupa bahwa mereka berdamai dan Rianti membuat sarapan hanya untuk dirinya sendiri.

Arfan memaklumi akibat perselisihan yang membutuhkan waktu lama. Sampai Arfan terbuka dengan ketakutannya terhadap cinta, serta Rianti yang memberikan saran terbaik agar Arfan tak merasa cemas lagi.

Find the Real LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang