Persaingan Tahap Dua: Cinta Bertepuk Sebelah Tangan

5.8K 1.4K 56
                                    

Met pagi!

Apa kalian merasa semangat Selasa pagi ini? Biar tambah semangat, yuks kita lihat pergulatan batin Nakula, Sadewa, dan Aurel.

Cekidot.

******

"Kalau aku minta Mama untuk enggak menyebutkan soal pernikahan Dewa dan Aurel, bisa?"

Ibunda Nakula dan Sadewa mengerutkan kening, lalu menoleh dan memandang heran Nakula yang duduk di meja makan sambil membantu membersihkan sayuran. Wajah putranya yang paling patuh itu tampak muram, membuat sang ibu bertanya-tanya.

"Kenapa?" tanyanya.

Nakula tampak tenggelam dalam pikirannya sementara tangannya terus bekerja. "Aku ... aku rasa mereka enggak saling mencintai," jawabnya enggan.

Ibunya mengangguk. "Mama tahu. Kesalahan yang terjadi antara mereka juga bukan karena cinta, tapi karena rasa penasaran. Tapi ... ada satu anak yang lahir, dan kalau keduanya sudah berdamai dengan masa lalu, apa salahnya berpikir ke sana?"

"Bukan berarti mereka harus menikah, kan? Kalau dipaksakan, kasihan."

Ibunya tercenung. "Mama rasa, tanpa Mama bicara soal itu, di otak mereka pasti sudah terpikir soal itu, Naki."

Nakula mengangguk. "Mungkin. Yang butuh kupastikan, Mama tidak menyebutkannya."

"Memangnya kenapa kalau Mama yang menyebutkan? Toh, Mama tidak akan memaksa."

"Karena itu tidak adil. Mereka akan berpikir Mama mendukung pernikahan itu walaupun enggak memaksa."

"Mama memang mendukung kalau mereka ingin menikah."

"Lalu, bagaimana denganku?"

Ibunya tertegun. "Naki?"

Nakula menghela napas. "Maaf."

Beberapa saat hening, lalu ibunya mendekati Nakula. "Ada yang ingin kamu katakan lebih jelas, Naki?" tanyanya lembut.

Nakula menghentikan gerakan tangannya. "Aku menyukai Aurel, Ma. Sejak puber. Mama tahu?"

Mamanya mengangguk. "Tahu, dulu. Tapi Mama tidak mengira kalau perasaan itu masih ada."

"Kenyataannya masih ada. Waktu Dewa dan Aurel melakukan ... keberengsekan itu, aku enggak merasa apa-apa. Aku enggak marah, atau kecewa pada mereka, mungkin karena kami masih anak-anak, perasaanku pun masih dangkal. Tapi ... Mama tahu aku enggak pernah suka pada perempuan mana pun, kan?"

"Ya. Mama sering bertanya-tanya soal itu."

"Aku juga. Kupikir, kenapa denganku? Apa aku enggak normal? Waktu aku ketemu Aurel lagi, ternyata perasaanku mulai tumbuh lagi. Aku masih suka sama Aurel, Ma. Malah sekarang bentuk sukanya lebih ... jelas."

Ibunya tercenung. "Jalan kamu berat sekali, Naki," katanya kemudian.

Nakula mengangguk. "Aku tahu."

"Bagaimana kalau Aurel dan Sadewa memutuskan untuk...."

"Tidak! Mereka jelas tidak punya perasaan apa pun kecuali sama-sama merasa bertanggung jawab terhadap Ouia."

"Itu bukan berarti mereka tidak ingin menikah, Naki. Bagaimana kalau mereka menempatkan Ouia sebagai alasan terpenting?"

Nakula memejamkan mata dan memijat pangkal hidungnya. "Kalau hanya demi memberikan status pada Ouia, aku juga bisa. Aku tidak keberatan mengadopsi Ouia bahkan mencatatkan kelahirannya sebagai anakku."

"Apa kamu sedang mengatakan ingin menikahi Aurel?"

"Iya. Kalau Aurel mau, dan aku memang sedang mendekatinya, Ma. Setidaknya, salah satu dari kami punya perasaan cinta. Tidak seperti hubungan Dewa dan Aurel yang murni teman."

Seleksi Ayah (Cerita Ouia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang