Met malem!
Uhuy! Seneng kan Neng Ouia manggung lagi sama emaknya yang jagoan?
Cuss....
*********
"Ouia! Abang Said dateng, nih!"
Ouia mengetuk kepalanya dari belakang. "Abang pale lo peyang? Tua-an gue dua jam," koreksinya. Dia melangkah mendahului Said masuk ke rumah.
Said menyusul sambil mengusap kepalanya. "Gue kire lo di dalem, dari mane, Ou?" tanyanya. Ia memakai sanitizer yang sengaja diletakkan Ouia dekat pintu, lalu duduk di lantai.
"Tuh ... warung Mpok Ipeh. Beli kacang," jawab Ouia. Dia mengambil piring plastik dan menaruh kacang di dalamnya.
"Kacang doang? Seprit atawa teh kotak gitu, ade?"
"Kagak. Kemaren kite udeh minum seprit, pan, di rumah babeh gue, kalo keseringan nanti kite kena obesitas sama osteoporosis pas umuran empat puluh."
Said mendecih. "Masih jauh amat, Ou. Kite pan baru lima belas?"
Ouia memberinya tatapan tajam. "Hidup sehat mulainye dari muda, Said. Lo mau gigi lo keropos macem gigi Cang Tohir?"
Said langsung bergidik. "Kagak! Amit-amit, deh."
"Selamat pagi, Ouia, Said. Apakah Tante Aurel di rumah, Ou?" sapaan Boni yang baru datang membuat kedua temannya menoleh.
Ouia menggeleng. "Selamat pagi, Boni. Mami sudah berangkat sejak tadi, tiba-tiba harus menggantikan salah satu rekan yang sif pagi," jawabnya, otomatis mengikuti gaya Boni yang sedang membersihkan tangan dengan sanitizer yang dibawanya dari rumah.
"Oh, demikian. Berarti aku tidak perlu menyapa beliau. Said, kalau kamu disapa, harus membalas dengan sama sopan."
"Met pagi juge, Boni. Elah, ribet!"
Boni menggeleng-geleng. Dia kembali menatap Ouia. "Kenapa kamu mendadak membuat pertemuan di jam segini, Ou? Apakah ada hal yang penting?"
Ouia mengangguk, dan sambil membawa piring berisi kacang, dia memberikan tanda kepada Boni untuk duduk juga. "Jelas ada, Boni. Itu sebabnya aku membeli kacang, supaya diskusi kita bisa lebih lancar."
"Oh." Boni duduk di depan Said dan memberikan tatapan tajam. "Said, ambil sesuatu untuk menampung kulit kacang kamu, jangan meninggalkan kotoran di lantai rumah Ouia, kasihan dia harus selalu membersihkan rumah setelah kita pergi. Berusahalah agar punya empati, jangan seenaknya."
Said melongo. "Set, dah. Lo ngomong apaan sih, Bon? Gue kagak make kartu SIM ntu, pan nomer gue yang harga paketannye murah aje?"
Ouia memukul kepalanya dari belakang. "Jangan ngaco, Id! Lo ngarti omongan Boni, cuma lo pengen ngedebat doang, kan? Biang kerok lo!"
Said membelalak. "Woi, kepale, nih, Ou. Jangan mentang-mentang lo jagoan lantas ngeremehin kepale gue!"
Ouia balas membelalak. "Makanye, lo jangan ngelama-lamain. Kalo ngerti ya ngerti, jangan belagak pilon."
Said mendengkus, tapi tidak menjawab lagi. Tangan Ouia kuat, kalau dia memukul, bekas pukulannya akan terasa sakit selama beberapa waktu, jadi, sebaiknya jangan memancing kemarahannya.
"Oke, gue mau bahas soal seleksi yang kita buat untuk nyaring ayah buat gue." Karena membuka pembicaraan, Ouia pun memakai cara bicaranya sendiri. "Kalau tadinya gue pengen kita seleksi yang terbaik dari tiga kandidat, yaitu Om Naki, Babeh, dan Pak Ferdi, kali ini akan ada perubahan."
"Perubahan apa, Ou?" tanya Boni.
"Ho'oh, ape nih?" timpal Said, langsung meraup kacang dan menaruh di pangkuannya. Tangannya mengupas kulit kacang tanpa melihat, seolah-olah punya mata sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seleksi Ayah (Cerita Ouia)
ChickLitHamil dan melahirkan di usia remaja membuat Aurel harus menjalani kehidupan yang berat sebagai orangtua tunggal. Namun, dia tidak pernah berputus asa. Bersama Ouia, putrinya yang tomboi dan bercita-cita menjadi astronom, Aurel merajut cerita dan har...