Selamat Senin pagi!
Yang siap berkegiatan, yuk maree ... ada Mak Tangguh Aurel dan anaknya yang Kolerik berat di sini. Biar udah mak-mak, Aurel banyak yang demen loh, uhuy!
Semangat, jangan lupa bahagia.
Met baca....
*****
"Jadi, apa rencana lo ke depan? Apa yang mau lo omong ke Aurel dan anak lo?"
Sadewa menghela napas mendengar pertanyaan Nakula. "Entahlah, Nak. Ouia betul, gue terlalu bodoh. Harusnya gue jangan tenggelam sama perasaan benci dan mengasihani diri sendiri sampai-sampai mengabaikan keluarga gue sekaligus membuat gue buta sama sekali soal Aurel dan Ouia. Harusnya begitu gue ngerti akibat kesalahan gue, gue langsung cari tahu soal Aurel dan bagaimana kondisinya. Apakah dia sehat, apakah enggak ada buntut panjang perbuatan kami yang harus dia tanggung sendiri? Gue malah mengasihani diri gue sendiri kayak orang bodoh," sesalnya.
Nakula tersenyum. "Ya. Lo bodoh banget, tolol dan kelewatan sensitif tapi enggak peka. Lo emosional dan sering menyalahkan orang lain, termasuk ortu lo, kecuali diri lo sendiri, tapi ... tinggalin itu di belakang. Gue rasa lo sekarang pasti bertekad untuk berubah, kan? Coba pikirin apa yang terbaik buat kalian, jangan tenggelam sama penyesalan terus."
Sadewa tercenung. "Gue tahu. Tapi ... gue malah bingung harus mulai dari mana, Nak. Lo kan tahu kalau gue ... gue sudah punya Padma."
Nakula ikut tercenung. "Pertama, kenapa enggak lo coba untuk ngomongin ini dulu ke Padma? Bilang soal adanya Ouia ... dan Aurel. Bagaimanapun, dia harus tahu soal mereka," sarannya.
Sadewa menghela napas. Diraihnya ponsel dan ditatapnya layarnya selama beberapa saat. Dia gamang. Bagaimana kalau Padma marah atau kecewa kepadanya? Bagaimana kalau kekasihnya itu memutuskan hubungan? Membayangkan ekspresi terluka gadis itu saja sudah membuat dada Sadewa sesak.
******
Meski sudah menduga tetapi tetap saja hati Sadewa bagai teriris melihat ekspresi Padma, gadis cantik yang telah mengisi hatinya selama dua tahun itu melalui layar ponsel. Bibir Padma bergetar, lalu matanya mengerjap cepat sebelum kemudian mengalirkan air mata yang disekanya buru-buru.
"Kamu ... kamu apa?"
Sadewa menghela napas. "Aku punya anak, Pad. Akibat kebodohanku bertahun-tahun lalu," akunya.
Padma termangu dan menatapnya lama. "Apa kamu sudah enggak jujur sama aku selama ini, Wa?" tanyanya dengan suara bergetar.
Sadewa tertunduk. "Bukan begitu, Pad. Aku memang enggak tahu sama sekali soal Ouia, sampai Nakula memberitahuku," jawabnya.
Padma menggeleng-geleng, wajahnya memucat. "Bagaimana bisa kamu punya anak tapi enggak tahu, Wa?"
Sadewa merosot pasrah di kursinya. "Aku juga bingung, Pad. Tidak ada pembelaan diri."
Padma terdiam selama beberapa saat, sebelum kemudian mendengus sinis. "Sudah malam. Aku harus menyiapkan materi presentasi besok."
Sadewa tergagap. "Pad ... aku ... aku masih...."
"Lain kali kalau ingin bicara soal ini, ada bagusnya kamu temui aku langsung, Wa. Menurut kamu, aku harus bereaksi bagaimana?"
Sadewa terdiam. Tanpa mengatakan apa pun lagi Padma memutus sambungan, meninggalkan Sadewa yang termangu menatap layar ponselnya.
Dia harus bagaimana?
Bertemu Padma di tempat kerja, Sadewa langsung jatuh cinta kepadanya. Perempuan itu begitu mandiri, tidak suka bermanja-manja dan sangat cerdas. Padma juga menyukai banyak hal yang sama dengan Sadewa dan dalam waktu singkat keduanya merasa cocok satu sama lain dan memutuskan untuk bersama. Dua tahun bukan waktu yang sebentar, dan perasaan yang dimilikinya terhadap Padma begitu pula sebaliknya, bukanlah perasaan dangkal yang mudah dihapus begitu saja. Namun, tanggung jawabnya terhadap Aurel juga ketidakhadirannya selama lima belas tahun juga bukan hal yang bisa dianggap sepele. Dia berutang banyak pada sahabat masa remajanya itu, juga putrinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seleksi Ayah (Cerita Ouia)
Literatura FemininaHamil dan melahirkan di usia remaja membuat Aurel harus menjalani kehidupan yang berat sebagai orangtua tunggal. Namun, dia tidak pernah berputus asa. Bersama Ouia, putrinya yang tomboi dan bercita-cita menjadi astronom, Aurel merajut cerita dan har...