Yuhuuu...
Selamat memperingati hari Isra Miraj buat mantemans eike yang beragama Islam, semoga kita semua dilimpahi kebahagiaan dan harapan yang lebih baik ya.
Buat kalian yang lagi siap2 berakhir pekan atau lagi cari bacaan menjelang bobo, nah ... mampir dulu deh di mari. Ada Aurel dan orang tuanya yang bijak banget. Ssst ... sediain tisu dulu deh.
Cuss....
******
Maret 2005
"Aku enggak mau hamil, Mama! Buang bayinya, buang!"
Tangisan Aurel pecah di pagi hari saat entah untuk ke berapa kali dia memuntahkan isi perutnya. Wajahnya pucat, bibirnya bahkan membiru. Bagian depan pakaiannya basah setelah tersiram muntah dan air, dan dia terkapar di lantai dapur karena kakinya terlalu lemas untuk kembali kamar seusai membuang isi perut di kamar mandi.
Elise yang tergopoh-gopoh datang saat mendengar suara Aurel jatuh langsung mengusap dadanya sedih. Dia tidak mampu mengatakan apa pun dan hanya bisa membantu putrinya berdiri dan memapahnya ke kamar. Dengan telaten dan sambil menahan tangis dia menggantikan pakaian Aurel yang basah kuyup, lalu memeluknya erat. Membiarkan Aurel menangis dalam pelukannya yang penuh kasih.
"Aku enggak mau bayi ini, Mama," isak Aurel. "Rasanya sakit, aku tersiksa. Dia bikin aku enggak bisa makan, aku mual ...."
Elise mengangguk-angguk sambil menggigit bibir, mencegah isak keluar dari situ. Tangannya mengusap lembut punggung putrinya, tetapi belum ada kalimat terucap karena dia tahu seberapa besar beban yang ditanggung Aurel saat itu. Kalau menuruti kata hati sebagai orang tua, tentu saja dia setuju Aurel membuang bayinya agar tidak perlu menderita lagi. Namun, sebagai pribadi yang taat dan percaya kepada Sang Pencipta, tentu saja dia tidak ingin putrinya menjadi pembunuh dengan menyingkirkan darah dagingnya. Hanya saja ... bagaimana cara menyampaikan itu kepada Aurel yang sedang dalam keadaan menderita begini tanpa membuatnya makin merasa terpuruk?
"Gara-gara dia kemarin aku dikata-katain sama tetangga, Ma. Katanya aku permepuan enggak bener, masih kecil udah genit. Aku enggak genit, Ma. Aku ... aku ...."
"Mama tahu," lirih Elise. "Mama tahu, Sayang."
"Buang bayinya, Ma. Ya? Aku enggak mau dia, Ma. Aku enggak mau kayak gini terus, sakit, mual ... malu."
Elise memejamkan mata, dua aliran bening yang ditahannya pun meluncur di pipi. Menjatuhi kepala Aurel yang masih dalam pelukannya. Saat dia hampir menganggukkan kepala saat tak tahan lagi melihat penderitaan Aurel, satu telapak tangan hangat menyentuh pundaknya, disusul suara lembut dan tenang Robert suaminya.
"Aurel kenapa, Sayang? Anak Papa kenapa?"
Aurel menjauhkan wajahnya dari dada sang ibu dan menatap ayahnya yang baru datang dari apotek untuk membeli obat dan vitamin baginya. "Papa ... aku enggak mau bayi ini, ya? Ya, Papa? Buang dia, ya? Ya?" rengeknya.
Robert menatapnya dengan sepasang mata teduh yang selalu membuat istri dan putrinya merasa lebih baik. Diraihnya bantal Aurel dan ditumpuknya hingga tinggi, lalu dia menepuk bahu Elise lagi.
"Mama, tolong buatin teh manis hangat untuk Aurel dan Papa, dong? Papa capek, tadi enggak ada ada ojek, jadi jalan dari apotek. Aurel juga pasti capek habis menangis," pintanya lembut.
Elise menelan ludah dan mengangguk. "Iya. Sebentar, ya, Pa." Dia melepaskan Aurel dan tersenyum lembut sambil menyeka air mata. "Aurel berbaring dulu, ya. Nyender di bantal aja biar enggak terlalu mual. Mama ambil teh dulu."
Aurel masih terisak, tetapi dia mengangguk. Perutnya kosong, dan dia kelaparan tetapi terlalu takut untuk makan. Penuh kasih sang ayah membantunya duduk bersandar di bantal yang ditumpuk, lalu duduk di sisi ranjang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seleksi Ayah (Cerita Ouia)
Literatura FemininaHamil dan melahirkan di usia remaja membuat Aurel harus menjalani kehidupan yang berat sebagai orangtua tunggal. Namun, dia tidak pernah berputus asa. Bersama Ouia, putrinya yang tomboi dan bercita-cita menjadi astronom, Aurel merajut cerita dan har...