PART 8 : Perkara Skripsi

46 24 19
                                    

-

Egi menatap kalung berbandul salib yang tergantung di lehernya dengan tatapan kosong.

Sejak pulang dari misa pagi tadi, Egi memilih untuk mengurung diri di kamar dan menunda sarapannya. Perkataan Ayahnya tadi masih terus berputar-putar di kepalanya hingga membuat ia malas untuk keluar dari kamar dan berhadapan langsung dengan Ayahnya.

"Gi, makan sana. Dari pagi kamu belum makan kan? Udah siang begini di kamar mulu." Egi berdecak ketika Ibunya lagi-lagi mengetuk pintunya sambil mengomel seperti biasa.

Gak bisa apa bilangnya lemah lembut?

"Nanti, belom laper." Balas Egi seadanya dan memilih merebahkan dirinya di atas ranjang.

"Makan sekarang, kalo sakit nanti skripsimu gimana? Katanya mau lulus cepet, tapi kerjaanmu tiduran mulu." Egi menggigit bibir bagian dalamnya menahan kesal.

Skripsi? Yang anaknya Mami aku apa skripsi sih, Tuhan?

Namun, akhirnya gadis itu mengalah karena malas mendengar ocehan sang Ibu yang bisa merambat kemana-mana.

Begitu sampai di ruang makan, Egi pun segera mendudukkan dirinya tepat di kursi yang berhadapan langsung dengan sang Ayah yang juga tengah makan siang.

Gadis itu meraih piring dan mengisinya dengan sedikit nasi hangat serta lauk pauk yang ada di atas meja tanpa membuka suara sedikit pun. Perasaan kesal akan perkataan Papinya pagi tadi masih membekas sampai sekarang.

"Skripsi kamu udah sampe mana?" Egi menghela napas panjang, saat topik skripsi lagi-lagi di bahas. Bahkan disaat ia sedang makan, baru juga satu suap nasi masuk ke mulutnya.

Astaga! Skripsi lagi! Tadi juga pertanyaannya sama!

"Udah lewat bab satu." Napsu makannya mendadak hilang, tapi ia tetap memaksa untuk menghabiskan nasi di piringnya jika tak ingin di damprat sang Ibu untuk kedua kalinya karena membuang-buang nasi.

"Baru lewat bab satu? Usaha lebih keras dong, liat Abang kamu cepet dia nyusun dulu. Masa baru lewat bab satu udah tenang kaya orang tinggal nunggu jadwal wisuda? Kamu mau lulus tepat waktu kan?"

"Egi udah usaha, Pi. Dan bakal terus usaha."

"Usaha lebih keras lagi. Apalagi kamu itu, haduh, Papi gak tau mau bilang apa lagi sama kamu, Gi. Dari dulu kamu begini-begini terus, apa-apa seadanya, nilai seadanya. Contoh Regan, semuanya dia usaha semaksimal mungkin."

Egi memejamkan matanya menahan kesal dan segera beranjak dari duduknya, napsu makannya mendadak hilang entah kemana. Kejadian itu sudah pasti membuat kedua orang tuanya mendelik tak suka, terlebih sang Ayah kini ikut bangkit.

"Kalo orang tua kasih tau itu di dengerin, bukannya malah ngambek pas dikasih tau. Orang tua itu tau apa yang terbaik buat anaknya. Papi ngomong seperti ini karena Papi sayang sama kamu, gak mau kamu teledor sama pendidikanmu. Gak mau kamu buang-buang waktu sama hal yang sia-sia." Egi menghentikan langkahnya tepat di undakan tangga pertama, tubuhnya membelakangi sang Ayah, namun telinganya terus mendengar ocehan tersebut. "Liat Abangmu, contoh dia gak banyak seenggaknya dikit aja."

Cukup, Egi bosan terus dibanding-bandingkan dengan Regan yang serba perfect dimata kedua orang tuanya.

Sedangkan apa yang ia kerjakan selalu salah, segala usahanya tak pernah diapresiasi, segalanya serba kurang karena tak sama persis seperti pencapaian yang telah Regan raih. Yang orang taunya lihat hanya Egi yang suka tiduran, Egi yang malas-malasan, Egi si pembangkang.

Dimata kedua orang tuanya, semua hal buruk ada di Regita Harsa Yuditha.

Padahal setiap orang punya garis start dan finish masing-masing, berjalan perlahan seperti sekarang saja Egi sudah merasa sangat terseok-seok. Apalagi jika harus berlari sekuat tenaga seperti apa yang Regan lakukan dulu, mungkin ia sudah mati dari kapan hari.

Garis KesanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang