Pagi ini tepat jam sembilan pagi. Ren dan Zia sedang melakukan panggilan video call, Ren sengaja menurunkan egonya dan bertekat memberi semangat untuk Zia, walau bingung dengan perubahan sikap sang majikan, tapi Zia tetap memberikan senyum terbaiknya dan itu cukup memberi Ren mood yang baik untuk menjalani operasi yang akan dilakukan tiga puluh menit mendatang itu.
"Brak!" Suara itu berasal dari pintu yang tiba-tiba terbuka. Menampilkan pria tua yang terlihat masih gagah sedang melangkah masuk kedalam ruangan vvip itu dengan wajah cemas dan khawatir.
"Kakek.." Kata Ren yang langsung menutup sambungan video call nya, membuat Zia yang berada diseberang sana merasa khawatir.
"Rendi..."
Cowok itu hanya tersenyum tipis. Setipis benang sutra "Kakek Ren tidak akan mungkin membunuh cucu kesayangannya, jadi lo tenang saja!"
"Kakek Ren tau kalau Ren di Rumah Sakit?" Tanya Zia
"Soal Ren, kakek tidak akan pernah terlewat sedikit pun Zia. Beliau selalu tau. Bahkan hubungan konyol kalian juga kakek Ren sudah mengetahuinya"
"Hah? Maksudnya?" Tanya Zia bingung.
"Jangan dipikirin!" Ucap Rendi mengacak rambut Zia lalu cowok itu meninggalkan Zia sambil tersenyum yang sulit diartikan.
Zia masih terpaku di tempat mencerna setiap kalimat yang baru saja Rendi ucapkan.
"Ayo Azia, sampai kapan mau bengong disitu? Sebentar lagi lomba dimulai?" Rendi mengulurkan tangannya pada Zia. Tapi entah kenapa ada yang aneh pada hati Zia saat ia akan menerima uluran tangan itu. Bukan kah ini kesempatan yang bagus untuk dekat dengan Rendi. Cowok tampan yang selalu menjadi pathnernya? Dan tanpa disadari Zia justru memilih tidak menerimanya.
*
Ren berada di dalam sebuah ruangan yang cukup dingin, dengan nuansa warna putih dan bau khas obat di dalamnya, peralatan medis yang sudah siap ditempatnya, membuat suasana terasa mencekam. Padahal hanya operasi untuk kaki saja. Itu semua karena kakek Ren yang meminta perawatan terbaik untuk Ren. Cowok tampan itu berbaring di atas meja operasi. Ia masih bisa memainkan ponselnya sebelum kakinya mulai tidak merasakan apa-apa setelah disuntik obat bius.
*
Lomba matematika akan segera di mulai, Zia dan Rendi sudah bersiap pada posisinya. Tapi di wajah Zia terlihat ada kehawatiran yang sangat kentara. Rendi dapat melihatnya.
Ada Cakra dan Sultan dibangku barisan penonton yang sudah berseru heboh memberikan dukungan dan semangat untuk Rendi dan Zia. Tapi hanya nama Zia yang terus di elu kan oleh Sultan. Rasanya Cakra ingin sekali membekap mulut laki -laki berseragam SMA yang sama dengannya itu, tiba-tiba mereka kembali heboh sendiri karena dimintai foto adik-adik kelas mereka yang juga iut datang memberi support. Kapan lagi bisa sedekat ini dengan mereka?. Sementara Anabella ke Rumah Sakit bersama kakek Ren.
"Lo gugup?" Tanya Rendi. Zia menggeleng. Lalu tiba-tiba tangan Rendi menggenggam tangan Zia membuatnya kaget dengan sikap Rendi. Zia senang? Tentu saja.
"Biar lo gak gugup lagi" ujar cowok yang tak kalah tampan dari Ren itu. Rambut Rendi berwarna hitam gelap. Kulitnya bersih walau tak seputih Ren. Mata yang indah dengan manik mata berwarna hitam membuat tatapannya selalu terlihat tajam, senyum yang manis dengan lesung pipi di sebelah kiri. Jika ia tersenyum mungkin hampir seisi dunia akan meleleh karenanya. Tapi sayang senyum Rendi begitu mahal. Tidak semua orang dapat melihatnya.
"Weh ngapain tu si Rendi pegang-pegang tangan calon pacar gue?" Cletuk Sultan tak terima, membuat Cakra menoleh.
"Halu lo ketinggian Tan, mana mau Zia sama lo? Si bos aja gak dilirik sama dia!" Kata Cakra. Cowok itu melipat kedua tangannya di depan dada dan kembali focus pada Rendi dan Zia di depan sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
REN ALEXANDER
Fiksi RemajaAzia Dimitri Khatulistiwa penerima beasiswa di SMA GALAXY , Salah satu sebuah SMA ELITE. Berisi anak - anak kalangan orang - orang kaya. Karena prestasinya, Zia bisa masuk ke SMA itu dengan Full beasiswa. Kehidupan normal yang selama ini Zia jalan...