Seorang gadis duduk termenung dalam kamarnya, memandang kosong kearah hamparan taman bunga paviliun yang ditempatinya. Memikirkan nasibnya kedepan, tak dia hiraukan angin malam yang dingin menerpa tubuh ringkihnya.
Suara gebrakan pintu membuyarkan lamunannya. Dilihatnya ayah dan kedua kakaknya berjalan ke arahnya, dengan senyum manis yang terpatri diwajahnya dia menghampiri keduanya tapi saat dia sudah berada tepat di depan mereka bukannya pelukan dan kata-kata hangat yang didapatkan melainkan tamparan keras disertai jambakan serta kata kasar. Kakak pertamanya menarik rambut nya membawa Gretha ke pojok kemudian membenturkan kepala adiknya itu ke dinding. Sang ayah hanya melihatnya dengan wajah datar, seolah itu hal biasa.
"Jalang! Apa yang kau lakukan pada Anne hah!," todong Lars -kakak kedua Gretha.
"Jawab! Gadis hina," teriak Eirich -kakak pertama Gretha.
"Tidak. Aku tidak pernah melakukan apapun pada Anne," lirih Gretha dengan suara yang bergetar dan mata sayu tak berdaya.
"Jangan bohong! Ini bukan kali pertama kau melakukannya. Kau anak tak berguna! Enyah kau dari hidup kami," teriak Duke pada anak bungsunya itu, tak dia perduli kan keadaan Gretha yang penuh luka lebam dengan darah yang mengalir dari kening. Keadaannya cukup mengenaskan, bukan cukup tapi sangat.
Setelah puas melihat keadaan Gretha mereka pergi meninggalkannya begitu saja dan berpesan kepada pelayan untuk tidak memanggilkan dokter sebagai hukuman. Mendengar itu Gretha merasa dadanya sesak, rasanya sangat sakit. Ayolah, dia tak melakukan kesalahan apapun, lalu kenapa dia harus di kasari dan di hukum. Sungguh tak adil. Mengapa mereka yang dianggapnya keluarga tak percaya sedikitpun akan dirinya? Kenapa?!.
Dia tidak pernah melakukan apapun pada Anne tunangan kakaknya Eirich. Dia dan Anne hanya beberapa kali bertemu itupun saat acara pertunangan, pesta ulang tahun yang dia lihat secara diam-diam dan setelahnya tidak pernah. Entah darimana kakaknya mendapat kabar bahwa dia yang telah menyakiti Anne. Dia hanya melakukan hal-hal kecil untuk menarik perhatian mereka.
Gretha belajar dengan baik di akademi agar mendapat perhatian ayahnya tapi tak pernah di hiraukan oleh ayahnya - Duke Arjen. Dia pernah seharian memakan es, bermain air, dan melukai dirinya sendiri agar di jenguk oleh ayahnya seperti saat kakaknya sakit tapi Duke tetap dengan ego yang tinggi mengabaikannya bahkan saat dia terluka pun Duke tak pernah peduli padanya. Hal tadi bukan pertama kalinya bagi Gretha tapi kesekian. Dia lelah.
Gretha bangkit berjalan kearah kasurnya tapi langkahnya terhenti dia menoleh kearah balkon melangkahkan kaki ringkihnya menuju balkon perlahan-lahan dengan pandangan kosong. Langkahnya berhenti, dia naik keatas pagar pembatas tanpa kesusahan.
Ceklek
Pintu kamarnya terbuka menampilkan pelayannya membawa obat-obatan. Pelayan itu menatap kearah Gretha yang sedang tersenyum sambil merentangkan tangan di atas pagar pembatas. Tubuh pelayan itu gemetar, obat-obatan yang di bawahnya berserakan dilantai. Dia berlari ke arah Gretha, menyuruhnya untuk turun dari sana tapi di balas Gretha dengan gelengan sambil berjalan di pagar pembatas itu dengan kaki telanjangnya.
"Milly, ini menyenangkan. Jika aku melompat. Apakah ayah dan kakak akan bersedih. Ah, kurasa tidak," ujar Gretha tanpa menatap Milly pelayanya.
"Tidak, nona tidak boleh melakukannya. Hiks nona kumohon turunlah hiks," tangis Milly dengan nada memohon pada nonanya, dia benar-benar takut mendengar ucapan Gretha. Dia tau semua penderitaan yang selama ini di alami Gretha, dia menjadi saksi atas kesakitan dan kesedihannya. Tapi, dia tak suka saat melihat raut keputusasaan majikannya itu.
Milly berlari keluar kamar secepatnya berteriak minta tolong pada siapapun yang ada di lorong, sesekali menoleh ke arah Gretha. Teriakan Milly berhasil membuat beberapa pelayan datang begitupun dengan Duke yang kebetulan masih berada didekat kamar Gretha serta para tuan muda.
Milly menoleh ke arah Gretha yang juga menatap ke arah nya dengan senyuman di wajahnya. Gretha merentangkan tangan siap menerjunkan dirinya ke bawah taman dengan hamparan bunga.
Melihat itu Milly segera berlari sambil berteriak memanggil nama Gretha. " Tidak! Nona jangan lakukan itu. Kumohon. Tidak!." Milly berusaha berlari dengan sekuat tenaga untuk meraih tangan Gretha tapi terlambat Gretha sudah terjun bebas dengan senyum yang tak lepas dari wajahnya. Lemas, Milly merasa seluruh syaraf geraknya putus, matanya tak hentinya mengeluarkan air mata.
"Indahnya." Lirih Gretha sebelum tubuhnya menghantam tanah dengan suara keras. Dari bawah dia dapat melihat wajah ayahnya dan kedua kakaknya Eirich dan Lars menatap tubuhnya yang telah bersimbah darah. Sekujur tubuhnya mati rasa, tak dapat dia gerakkan ditambah rasa sakit yang perlahan dia rasakan.
'Ah, sepertinya seluruh tulangku patah. Hahaha, pada akhirnya aku mengambil jalan ini. Aku tau pasti duo menyebalkan itu akan mengamuk mendengar atau melihat keadaanku.'
'Hm, setidaknya ayah dan kakak menatapku setelah semua usaha yang telah kulakukan.' batin Gretha miris.
Perlahan mata Gretha tertutup, samar-samar dia dengar suara seseorang tapi tak tau suara siapa itu. Matanya tak sanggup untuk terbuka. Bayangan orang itu buram, tangannya bergerak, berusaha menggapai wajah orang itu. Hangat dan nyaman, itulah yang dirasakan Gretha saat menyentuhnya. Dia merasakan perasaan familiar saat menyentuhnya.
Napas Gretha perlahan berhembus, sedikit demi sedikit suhu tubuhnya menurun. Tubuhnya sudah mati rasa, tak mampu untuk bergerak. Hembusan napas terakhir menandakan jiwanya yang pergi untuk selamanya.
Jangan lupa vote dan komennya readers
Kalau ada typo mohon dimaafkan. Sampai jumpa di chapter 1.Bye bye
Revisi 04/05/22
KAMU SEDANG MEMBACA
Why You Don't Love Me Duke? [On Going]
Historical FictionProses Revisi, jadi harap maklum kalau ga terlu nyambung chapternya Kuylah, follow dulu pren baru baca Gretha, gadis yang dibenci oleh keluarganya. Dia meninggal karna bunuh diri dengan cara terjun dari balcon kamarnya. Dia pikir hidupnya telah bera...