Haii, balik lg nih setelah sekian abad mulihin hati (eak:v). Sehat² kan? Masih nungguin cerita ini? Nih, up lg. Maaf, rada absurd ini ngetiknya lg mumet. Kalau typo ditandai, ya😄
"Sejauh ini semuanya lancar," ujar Eden yang duduk nyaman di kursi taman bersama dengan kedua adiknya-Gretha dan Luzio.
Anggukan mengerti Gretha berikan. Urusannya ditangani dengan baik oleh sepupunya. Dia hanya perlu duduk berpangku tangan dan menunggu hasil sebenarnya, tapi bukan Gretha namanya jika hanya diam, menonton dan menunggu hasil. Bukan gaya nya sekali itu, tidak keren.
"Haah," helaan napas penuh dengan beban tak kasat itu Gretha keluarkan. Matanya memejam sejenak, membukanya perlahan menatap langit malam yang kosong tanpa taburan bintang.
"Kembali dan temani istrimu kak," usir Gretha dengan halus yang di hadiahi elusan brutal yang membuat rambunya berantakan.
Decakan kesal keluar dari mulut Gretha. Setelah kepergian eden, hanya Luzio yang masih betah duduk menemani sepupunya itu.
"Jadi, bagaimana Illona atau Megan?," tanya Gretha memecah keheningan.
"Tak ada yang bisa kupilih. Aku tidak se brengsek itu memilih salah satu sahabatmu Gretha. Kau tau siapa yang aku suka diantara keduanya," jelas Luzio tanpa menatap Gretha.
Mengagguk, Gretha tau siapa yang disukai Luzio itu Megan. Sipolos yang gampang ditipu. Dia menyetujui perkataan Luzio, akan sangat tidak pantas jika dia menjalin hubungan dengan salah satu dari mereka, baik Megan maupun Illona.
"Jangan terus mendiamkan Illona dan merespon apa yang aku pinta. Jelaskan padanya, setidaknya biarkan dia mengetahui keadaanmu," ujar Gretha yang beranjak dan berlalu masuk mansion meninggalkan Luzio yang bergelut dengan pikirannya.
"Ck, masalah hati yang menyebalkan," umpat Luzio pelan.
🔸🔶🔸
Hembusan angin malam masuk kedalam kamar Gretha. Dia sengaja membuka balkon kamarnya.
"Kau datang Ville," ujarnya dengan mata yang perlahan terbuka.
Ini sudah tengah malam dan mata indahnya tak bisa terpejam. Tidur dalam hitungan menit dan terbangun lagi. Hal ini sering terjadi apabila pikirannya saling bertubrukan. Dia berusaha mempertahankan pikiran positifnya untuk mengindahkan bisikan menyebalkan.
Sofa di sampingnya tertekan. Pria yang dia panggil Ville itu duduk di sebelahnya. "Boleh aku duduk lebih dekat lagi dan memelukmu?."
Senyum lucu terpatri diwajahnya. Gretha menoleh kesamping. Matanya menyorot tepat pada mata tajam milik Naville. Tangan rampingnya meraih sebelah tangan Naville dan menariknya perlahan.
Mendapat respon dari sang gadis. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan Naville bergerak cepat, memepetkan tubuhnya kearah Gretha. Tangan berotot itu memeluk erat tubuh Gretha, menyalurkan rasa rindunya selama beberapa minggu tak bertemu.
"Kau wangi," bisik Gretha sembari menghirup rakus wangi maskulin yang menguar dari tubuh Naville. "Kau bisa menghirup wangiku sepanjang waktu jika kau menerima lamaranku."
"Hahaha," tawa Gretha sesaat Naville selesai mengucapkan rayuannya. Rasanya lucu saat orang seperti Naville yang cukup kaku dihadapan orang bersikap layaknya perayu ulung.
"Jika itu lamaran pertunangan aku terima, tapi yang kubaca itu lamaran pernikahan," jelas Gretha.
Decakan kesal Naville keluarkan. Tentu saja lamaran pernikahan kenapa harus pertunangan jika keduanya bisa langsung menikah saat itu juga. Lupakan itu, biarkan dia fokus pada Gretha sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Why You Don't Love Me Duke? [On Going]
Fiksi SejarahProses Revisi, jadi harap maklum kalau ga terlu nyambung chapternya Kuylah, follow dulu pren baru baca Gretha, gadis yang dibenci oleh keluarganya. Dia meninggal karna bunuh diri dengan cara terjun dari balcon kamarnya. Dia pikir hidupnya telah bera...