Seorang gadis cantik tengah menunggu seseorang di halte. Ada sesuatu yang ingin Radella tegaskan pada Derren. Perasaan laki-laki itu. Radella ingin mendengar penjelasan Derren tentang ucapan Richard tadi.
Namun sudah satu jam lebih Radella menunggu, Derren belum menunjukkan tanda-tanda kehadirannya. Sekolah sudah sepi, jalanan di depannya juga sepi.
Seharusnya jika Derren tidak bisa, bilang saja tidak bisa. Jangan menyanggupi tanpa adanya kedatangan.
Rintik-rintik hujan membasahi Kota Bandung sore ini. Semakin lama semakin deras. Radella memeluk tasnya yang ia pangku untuk menghalangi cipratan air yang mengenai seragamnya.
Gadis itu mengecek ponselnya, dan ... sial! Ponselnya kehabisan baterai.
Radella menghela napas pasrah, mungkin Derren akan tiba sebentar lagi. Pikirnya. Kedua tangannya saling menggosok agar mencipta kehangatan.
Dua puluh menit kemudian Radella masih di tempat yang sama. Sebentar lagi langit akan gelap. Hujan tidak menandakan akan berhenti, yang ada justru semakin deras dengan angin yang sedikit kencang.
Perutnya semakin lama semakin sakit. Di sini sangat dingin. Sepertinya Radella harus pulang berjalan kaki. Lagipula seragamnya sudah basah karena atap haltenya bocor. Angin kencang juga menerbangkan rintikkan air hujan membuatnya mau-tidak mau menjadi ikutan basah.
Radella terpaksa menerobos derasnya hujan, gadis itu terbatuk. Radella suka hujan, tapi jika hujan-hujanan dengan cara seperti ini, lebih baik tidak.
"Jangan cengeng gini Del, Derren pasti ada urusan mendadak makanya nggak bisa jemput," batinnya menenangkan diri, bukannya ia berhenti menangis, air mata itu justru turun semakin deras bercampur dengan tetesan air hujan.
Derren juga manusia, pasti laki-laki itu memiliki kesibukan sendiri. Mungkin saja Derren sudah mengabari Radella, tapi karena handphonenya mati jadi Radella tidak tahu. Ini bukan salah Derren.
***
"Derren, Mama sama Papa hari ini lembur, temenin gue, ya?" pinta Diva memeluk Derren dari belakang.
Di tempat lain Derren dan Diva baru saja pulang sekolah, mereka sedang dalam perjalanan menuju ke rumah Diva.
"Iya Div," jawab Derren menurut.
"Makasih Der, lo nggak kerja hari ini?"
"Sebenarnya ada kerja sih, tapi nggak apa-apa."
"Beneran nggak apa-apa? Maaf ya Der." Diva meletakkan kepalanya di punggung Derren.
"Iya."
Sesampainya di rumah gadis itu sepi menyambut mereka. Derren langsung duduk di sofa. Sedangkan Diva mengambilkan minuman untuk Derren.
Tanpa diduga Diva langsung tidur dipangkuan Derren setelah meletakkan segelas air putih di meja. Derren cukup terkejut, tapi tidak menolak.
"Nggak ganti baju dulu?" tanya Derren.
"Nggak usah, lagian besok nggak dipake."
Diva memegang tangan Derren, memainkan tangan yang lebih besar dari tangannya. "Der, pengin makan pizza," pinta Diva.
Tangan Derren yang satunya menyingkirkan anak rambut yang menghalangi wajah Diva. Mengusap kening gadis itu lembut.
"Mau gue beliin?" tanya Derren. Diva mengangguk.
"Ya udah lo tunggu di sini, gue pergi bentar."
Derren bangun, begitu juga Diva yang ada dipangkuannya.
"Pinjem handphonenya."
Kening Derren mengernyit, "Buat apa?"
"Pinjem aja ih," desak Diva. Derren menyerahkan benda pipih itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tears Of Sincerity [END] ✓
Teen Fiction|| FOLLOW SEBELUM MEMBACA || ⚠️ MOODY-AN ganti judul jadi TEARS OF SINCERITY ⚠️ "Setelah baca Tears Of Sincerity lanjut baca Happier or Sadder untuk sekuelnya" SIAPKAN TISU SEBANYAK MUNGKIN SEBELUM MEMBACA! *** Kaya raya? Menjadi gadis cantik? Famou...