55. Pertemuan atau Perpisahan?

2.6K 252 33
                                    

"Ar, gue kangen banget sama lo. Lo sayang gue, 'kan? Kalau lo sayang, pulang Ar, gue butuh pelukan lo," mohon Radella lirih.

"Princess Ra!"

Tubuh Radella menegang mendengar panggilan itu, ia berhenti melangkah karena terkejut, tapi kemudian berpikir lagi, mungkin hanya perasaannya yang terlalu merindukan Arkan. Alhasil Radella kembali melanjutkan langkahnya.

"Ra?"

Untuk kedua kalinya Radella berhenti melangkah karena mendengar suara berat itu, suara yang selama ini ia rindukan, suara yang selalu datang dalam mimpinya.

Kali ini suaranya terdengar sangat nyata, seperti berada di belakangnya. Radella memberanikan diri untuk membalikkan badan.

Setelah tahu siapa yang berada di belakangnya, Radella menutup mulutnya tidak percaya, ia menggeleng tak sanggup. Terlebih saat melihat gelang hitam itu masih melingkar di pergelangan tangan kekarnya.

"A-Arkan?" Air matanya mengalir semakin deras.

Laki-laki ber-hoodie itu tidak mampu menyembunyikan rasa senangnya, kedua sudut bibirnya terangkat, kemudian mengangguk.

"Iya, ini gue, Arkan."

Tanpa menunggu lama lagi Radella langsung menghambur ke pelukan laki-laki di depannya dengan erat. Arkan langsung membalas pelukan itu tak kalah erat.

Akhirnya selama satu tahun lebih mereka terjebak dalam rindu, bisa terobati juga. Arkan lega, ia sudah menemukan Princess-nya. Radella juga langsung memeluknya, itu artinya perasaan Radella masih sama, 'kan?

"Lo ke mana aja, Ar, selama ini? Gue kangen banget sama lo," ungkap Radella sembari terisak.

"Gue juga. Sorry perginya lama, gue bakal jelasin kebingungan lo selama ini."

Radella melepaskan pelukan itu, ia menatap wajah Arkan yang mulai bercerita dengan mata berbinar, sepertinya Arkan terlalu bersemangat.

"Maaf, gue pergi tanpa ngasih tau apapun ke lo. Maaf juga waktu lo koma gue nggak ada di samping lo. Dan maaf, dulu gue tiba-tiba jauhin lo. Gue terpaksa jauhin lo beberapa hari sebelum berangkat ke Sydney, karena kalau gue tetep deket sama lo, pasti itu bikin lo sakit hati, gue nggak mau, Ra."

"Meskipun kalau kayak gini lo tetap sakit, tapi seenggaknya gue nggak ngasih harapan lo buat nunggu gue. Biar gue yang nunggu diri gue sendiri buat lo. Jangan sampai lo yang nunggu gue," jelasnya.

Arkan tahu persis seberat apa rasanya menunggu, ia sudah mengalaminya sendiri.

"Maaf, waktu lo tenggelam gue nggak nolongin. Gue pengin, Ra, tapi gue nahan diri buat nggak lakuin itu, gue nggak mau bikin lo berharap lagi. Gue takut, Ra, waktu lo nggak sadar, gue khawatir banget, gue kacau, tapi gue nggak bisa lakuin apa-apa."

Tidak tahu saja Radella bahwa sepulang dari sekolah Arkan begitu kacau, ia menyalahkan dirinya sendiri karena tidak menolong princess-nya.

Arkan menunduk. "Gue tau gue pengecut."

Radella menggeleng keras, tangannya menangkup kedua pipi Arkan. "Lo cowok terbaik yang pernah gue kenal, bahkan lebih dari kata terbaik," ujarnya membuat Arkan tersenyum simpul.

Arkan menurunkan tangan Radella untuk ia genggam. "Keadaan yang memaksa gue buat lakuin ini semua. Ayah gue kena jantung dan harus dirawat di Aussie, kita sekeluarga terpaksa pindah, gue sebagai anak laki-laki satu-satunya harus kerja part time sambil kuliah. Di sana gue kerja sembarang asal bisa dapet uang buat bayar biaya rumah sakit Ayah sama kebutuhan sehari-hari. Jadi waiters, pengantar paket, sampai futsal coach."

Tears Of Sincerity [END] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang