Amor Fati : IV

360 45 40
                                    

Semuanya sulit untuk diterima. Secara tiba-tiba apa yang kau cintai dan miliki menghilang. Entah kenapa semua mendadak terjadi saat kau berada di titik paling menyayangi. Rasanya seperti mimpi, seperti tidak nyata, dan kau ingin kembali sadar namun tidak bisa karena inilah realita.

Perlahan buliran air mata membasahi pipi Sooyeon. Dadanya terasa sesak terhimpit oleh rasa sesak dan amarah. Sooyeon masih belum menerima bahwa ia harus kehilangan Yuri.
Wanita itu hanyut dalam rasa sesal. Rasanya ingin tetap seperti itu sampai jatuh dalam jurang atau bahkan sampai nyawa juga ikut menghilang. Inilah sebenar-benarnya kecewa, senyatanya duka. Kehilangan.

Suara langkah kaki terdengar mendekatinya. Untuk sejenak Sooyeon segera menghapus air mata yang sempat mengalir di pipinya. Lalu Sooyeon segera mendengus saat menyadari tempatnya berada sekarang. Mengingat Kolumbarium adalah sebuah bangunan untuk menyimpan guci penguburan yang berisi abu yang sudah dikremasi dan terbuka untuk umum. Siapapun bisa datang ke tempat ini.

"Sebelum kesedihan membawamu larut, sebelum kecewa dan sesal menenggelamkan. Ketahuilah, di dunia ini setiap hal datang dan pergi. Kadang ada yang memberikan kabar, terkadang ada yang tiba-tiba menghilang. Selalu begitu. Dan tugas kita adalah bersiap diri, menerima lapang dada kalau itu terjadi."

Sooyeon tersentak dan isakannya berhenti mendengar seseorang berbicara di belakangnya. Orang itu kembali berbicara.

"Makna sederhana dari sebuah pertemuan pasti adalah perpisahan, sebagai pengingat bahwa seperti inilah hidup. Tidak semua bisa kita genggam dan miliki, beberapa perlu diikhlaskan pergi. Beberapa perlu direlakan untuk menghilang.
Sebelum kesedihan terus menggelayut, mengertilah bahwa tak selamanya setiap hal bersama kita. Kalau bukan dia yang meninggalkan, kita pun bisa jadi lebih dulu pergi. Semuanya hanya soal waktu."

Sooyeon kembali menghapus bekas air matanya kasar lalu berbalik untuk melihat siapa gerangan orang yang dengan lancangnya mengganggu acara berkabungnya. Ya, saat ini Sooyeon berada di sebuah Kolumbarium tempat di mana abu Yuri di simpan.

Sooyeon menatap tidak suka lelaki di hadapannya..
"Kau menceramahi ku? Memangnya kau siapa? Kau hanyalah orang asing!"

"Aku? Im Yoong, calon suamimu."
Yoong berdiri santai dengan kedua tangan dimasukkan ke saku celana, terkesan angkuh.

"Mwo?! Memangnya siapa yang ingin menikah denganmu? Jangan gila!"
Ekspresi kekesalan di wajah dinginnya bertambah.

Yoong tersenyum tipis, di mata Sooyeon ekspresi lelaki itu terlihat sangat menyebalkan.
"Perlu ku ingatkan sesuatu? Beberapa waktu lalu ada seorang wanita yang meminta pertanggung jawaban dariku. Bukan cuma itu, ayah si wanita itu juga memaksaku untuk menikahi anaknya."


Sooyeon terdiam. Ia tidak mengelak, karena apa yang dikatakan Yoong memang benar. Tapi ia melakukan hal itu tanpa sadar, saat itu ia tidak berpikir jernih. Tetap saja egonya setinggi langit, tidak mungkin Sooyeon serta merta mengiyakan perjanjian gila yang Appa dan pria asing ini buat.

"Apa mau mu?"

Yoong menyeringai mendengar ada sedikit kepasrahan di dalam nada bicara wanita itu. Dengan mengangkat sedikit wajah ia mulai berbicara dengan nada tegas.
"Pertama, dengan atau tanpa kehadiran kekasih hidupmu tetap berjalan sebagaimana semestinya. Kedua, kau boleh kesal setengah mati pada orang tua. Namun di luar sana ada anak-anak yang berdoa siang-malam demi tahu siapa ayah-ibunya. Terakhir, kau boleh merasakan kehilangan segalanya. Tapi ingatlah pada mereka yang berusaha tak limbung setelah semesta mengambil poros hidupnya."

Kernyitan di kening Sooyeon makin bertambah, matanya menatap Yoong tajam. Sekilas, siapapun akan tahu bahwa Sooyeon tidak menyukai semua perkataan yang baru saja Yoong lontarkan, meski kata-kata itu ada benarnya. Jelas sekali, lelaki ini sedang menceramahi nya dan Sooyeon tidak membutuhkan hal itu.

EpitomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang