SATU

573 84 90
                                    

Hai kalian!
Semoga suka ya dengan cerita ini
.
.
Selamat membaca!!


"Tolong sekretaris kelas tulis apa yang sudah bapak catat" suruh pak Bambang selaku guru Geografi yang kini linjur menjadi guru Fikih.

Cewek itu mengangguk paham. Dia membuka retseleting tasnya mencari sebuah pena bercap masinis. Setelah mengobrak-abrik isi tasnya, ternyata pena itu terbaring di meja dengan berselimut buku tulis.

"Gue pikir lo ilang" ujar Yuditha lalu menulis serangkaian tulisan di buku tulisnya.

Selembar buku telah habis ia gunakan untuk menulis semua perintah pak Bambang. Tetapi kemudian terhenti ketika didapatinya nama seorang cowok di tulisan itu.

"Woy Lul! Nama dia apa? Aditia, Adythia, atau Adhitya?" tanya Yuditha kepada teman sebangkunya yang bernama Lula.

Lula berdecak malas. Sering kali Dita--nama panggilannya-- menulis nama itu ketika disuruh mencatat ulang, tetapi entah mengapa semua itu tidak terekam di dalam otaknya.

"Adhitya, Dit. A-D-H-I-T-Y-A. Adhitya" eja Lula karena dia sudah terlalu bosan menjawab pertanyaan yang selalu dilontarkan ketika Dita bertemu dengan nama Adhitya.

"Oke"

Setelah dirasanya selesai, gadis itu memundurkan bangkunya, lantas mengambil ancang-ancang untuk melangkah maju ke tempat pengajar.

Di waktu yang bersamaan, Adhitya a.k.a Adit dan Gery masuk ke kelas. Usut punya usut mereka berizin ke toilet, padahal arah tujuannya ke kantin. "Assalamualaikum, Pak" salam Adit ketika masuk ke ruangan berbentuk persegi empat.

"Hati-hati jatoh" peringat Adit pada Dita.

Dita yang merasa bodoh amat dengan peringatan itu justru melangkahkan kakinya dengan santai. Tetapi nahas dia justru terpeleset akibat lantai kelas yang sengaja Adit tumpahkan minyak rambut sewaktu istirahat tadi.

"Dapat!" Tubuh mungil itu kini berada di dalam dekapan Adit. Bucin tak lihat tempat membuat para murid dan pak Bambang bersiul karena geram dengan tingkah keduanya.

Dita membeku di dalam sana. Ditatapnya mata berwarna cokelat itu dengan penuh makna. Melihat sebuah kebenaran dan kebohongan yang sejak dulu membuat pemiliknya buta akan sebuah kenyataan.

Jarak terdekat ini belum pernah dirasakannya, bahkan singgah di mimpi saja tidak pernah.

Adit dengan sigap menahan tubuh itu. Dia juga menatap mata lawan jenisnya, berharap ada sebuah pengharapan didalam sana. Tangan kekarnya pun masih enggan untuk melepaskan gadis itu. Dia hanyut didalam suasana yang benar-benar tidak bisa terdefinisikan. Lalu tangannya tergerak menyisihkan anak rambut gadis itu ke belakang telinga dengan sendirinya. Tangannya benar-benar bergerak tanpa perlu ada arahan dari pikirannya.

Irama jantung Dita kini berdegup kencang, mungkin lebih kencang daripada punya Adit. Secara tidak sengaja tangan itu bersentuhan dengan dada Adit, dan dia merasakan jantung lawannya itu berdegup sama kencangnya dengan dirinya.

"Bucin liat tempat dong, Frenn!" Teriak Ziko dari tempat duduknya lantas disambut serempak oleh para murid, "Ganggu aja lo, Zik! Huuuuu!"

Dita tersentak kaget ketika Adit melepaskan topangannya tanpa memberitahu. Untung saja Kenzo yang sedang melakukan peregangan di pinggangnya langsung menahan dirinya.

"Huuu Kenzo moduuussss!!" Sasar para murid yang kini beralih pada Kenzo.

"Thanks, Ken" Kenzo mengangguk.

Dita seutuhnya masih penasaran dengan cowok bernama Adit. Meskipun mereka sekelas sejak kelas sepuluh, hingga kini Dita belum pernah mendengar cowok itu berbicara padanya, atau bahkan satu kelompok saja adalah momen yang paling langka bagi keduanya.

TENTANG MANTANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang