DUA PULUH SATU

18 16 3
                                    

Di atas sofa lembut nan nyaman, Dita sibuk mengetik di papan keyboard handphone. Gadis itu merebahkan tubuhnya di sana sejak setengah jam yang lalu. Tidak tau siapa yang diajak chat, yang jelas dia cengar-cengir pertanda sedang bahagia.

Cittt

Pintu utama berdecit ngilu. Dita masih setia pada handphone-nya. Di ambang pintu, tampang Arka dan Rania baru saja pulang dari pasar. Beberapa barang belanjaan mereka tenteng dengan ikhlas. Lain hal dengan Dita, dia mengabaikan kedua saudaranya.

Rania langsung menyelonong masuk, begitupun dengan Arka. Mereka juga ikut mengabaikan Dita.

"Abang mau masak atau ntar kita beli ke depan nih?" Rania bertanya riang kepada Arka. Sengaja dia melempar pertanyaan itu, karena ia tau bahwa Arka adalah juara soal masak-memasak.

Arka belum menjawab. Dia mengambil gelas lalu mengisinya dengan air. Cuaca yang sangat panas betul-betul membuat diri Arka dehidrasi, itulah sebabnya dia meneguk air terlebih dahulu baru kemudian menjawab pertanyaan Rania.

"Mmm, kayaknya masak aja deh. Tapi kamu bantu abang ya?" dengan semangat 45 Rania mengangguk.

Gadis berusia 16 tahun itu meninggalkan dapur. Niatnya adalah mengganti pakaian terlebih dahulu baru setelah itu membantu abangnya.

Lenyapnya Rania dari dapur sontak membuat Arka menyergitkan keningnya. Beberapa tayangan masa lalu terekam dengan nyata di pikirannya. Arka ingat betul siapa pemeran utamanya dan dia tau di mana posisinya kala itu.

Kursi sedikit berbunyi. Cowok itu duduk di sana sambil menyusun beberapa kepingan teka-teki kehidupan.

"Dulu gue adalah wakil, sedangkan dia nggak jauh dari kata anggota"

Tak lama setelah itu Arka mengubah arah posisi duduknya. Sesekali ia meneguk air putih, lalu kembali memikirkan apa yang harus dipikirkan.

Deg

Kepalan tangan mengepal. Wajah dari abang Dita tersebut memanas. Napasnya naik-turun mulai tidak beraturan. Kejanggalan akan keegoisan dan kesalahan pada saat itu membuat Arka sadar. Dia tau apa maksud dari semua ini.

Dia terus bertanya di dalam hatinya mengapa semua bisa terjadi. Arka benci kesalahan, dia juga benci akan pengkhianatan.

"Nggak akan gue biarin lo menang secepat ini" Dengan amarah merajalela, cowok itu bangkit dan pergi dari dapur.

Rania yang berpas-pasan dengan Arka spontan kebingungan melihat abangnya seperti kehilangan akal. Wajah cowok itu seram, sehingga Rania tidak berani untuk bertanya yang macam-macam.

Ceklek

Pintu terbuka. Dita melihat pergerakan abangnya, "Mau ke mana lo?" Arka tidak menjawab. Dia pergi tanpa berpamitan.

"Dih, aneh tuh orang! Ditanya malah nggak jawab" Bukan, ini bukan Dita yang bersuara. Rania lah orangnya. Mungkin dia kesal sedikit dengan Arka yang katanya mau masak, tetapi malah pergi meninggalkan mereka berdua seorang diri.

Celetupan dari sang adik membuat Dita menoleh ke belakang. Jarang-jarang Rania seperti itu terhadap Arka, bahkan memang mustahil Rania berani berkata yang tidak-tidak mengenai Arka.

"Kenapa?!" Dita menggeleng. Ternyata Rania lebih menyeramkan ketika tegas.

Beberapa detik kemudian Rania masuk ke kamarnya. Tertinggal lah Dita seorang diri di sana. Tetapi gadis itu tidak mempermasalahkannya. Dia sangat asyik dengan handphone-nya hingga melupakan adanya Rania bersamanya.

Kak Caca🤩
Lagi ujian apaan sih?
Kayaknya sibuk bgt deh akhir" ini

Dita
Ujian kehidupan

TENTANG MANTANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang