Hai klean. Masih ada yang melek, kah? Kalo masih, baca yuk. Vote sama komen jan lupa.
Oh ya, abis ini ada spoiler di profil author, jangan lupa baca.
Happy Reading
~
Vero masih setia diam, memandangi nisan yang bertuliskan nama Deana. Deana Quinsha. Vero menitikkan air matanya kembali saat melihat nama itu. Nama yang pernah hadir memberikan rasa dan warna di dalam hidupnya. Nama yang selalu memanjakannya. Nama yang selalu mencintainya dengan sepenuh hati.
Vero menunduk, tak kuasa menahan tangisannya. Acara pemakaman sudah berakhir sejak satu jam yang lalu. Tapi, Vero masih betah, memandangi rumah baru Deana. Dia akan rindu pelukan hangat Deana. Kecupan. Semuanya. Sesaat dia pikir, Tuhan sangat tidak adil mengambil Deana dari sisinya. Tapi kini pemikirannya berubah. Pasti Deana, sudah tak merasakan sakit lagi.
Baru kali ini, dia bisa sesayang ini kepada perempuan setelah kedua mamanya dan Vira. Bukan sekedar kata-kata gombalan atau rayuan, tapi memang benar itu adanya. Vero baru bisa merasakan cinta yang sesungguhnya saat dirinya bertemu Deana. Pertemuan yang sangat konyol baginya. Tapi, bisa membuatnya terbang ke awang-awang.
"De!"
"Ternyata ini beneran ya?"
"Aku nggak mimpi." Vero tersenyum menatap nisan makam Deana. Sejenak ia termenung, melihat nama Deana di sana. Sepertinya, Vero tidak akan pernah kembali ke apartemennya lagi. Kembali ke sana hanya membuka kenangan dirinya bersama gadis pujaan hatinya, yang sudah tertidur untuk selamanya.
"Aku bingung, De. Harus ngelupain atau nginget kamu terus. Kamu cinta terakhir aku, De."
"Kamu udah seneng ya di sana? Udah nggak ngerasain sakit lagi, kan?"
"Kamu seneng, kan? Udah jadi putri tidur." Vero masih memandang nisan makam Deana. Ia sudah membuat keputusan. Dia harus kuat. Hatinya harus kuat menerima ini semua. Agar Deana bisa tenang juga di sana.
"Oke. Princess-nya Vero yang paling cantik. Tidur yang nyenyak ya. Aku mau pulang. Nanti, kapan-kapan, aku ke sini lagi ya?"
Vero berusaha berdiri. Kakinya masih lemas, mengingat sudah lebih dari satu jam ia duduk di tanah. Sekarang sudah pukul empat sore. Vero harus pulang, sholat, dan mendoakan princess-nya.
"Assalamualaikum, Deana."
***
6 tahun kemudian.
"Kenan, om bawa mainan!"
"Om Velo!" Kenan berteriak sambil berlari ke arah Vero. Vero dengan sigap menangkap jagoan kecilnya, anak dari Vira dan Bryan. Vira dan Bryan menikah lima tahun yang lalu. Dan, setahun kemudian, Vira melahirkan Kenan, ponakan tampan kesayangan Vero.
Setiap kemauan Kenan, akan selalu Vero turuti. Padahal Vira sudah melarang kakaknya itu memanjakan anaknya. Takutnya, anaknya menjadi anak yang manja. Vero tidak khawatir, yang penting Kenan selalu diajarkan tentang moral-moral, pasti dia tidak akan tumbuh jadi anak yang manja.
"Bagus nggak?" tanya Vero. Kenan mengangguk. Tangannya masih sibuk membuka bungkus mobil-mobilan merah yang ada di hadapannya. Saat terbuka sempurna, dia memeluk erat mainan itu.
"Makasih om Velo. Tapi, mainan Kenan masih banyak, nanti Kenan bagiin sama temen-temen, boleh nggak?"
"Boleh dong!" jawab Vero. Iva menggeleng melihat interaksi antara cucunya dan Vero. "Vero! Pakde Vero bukan om. Kamu kan kakaknya Vira, bukan adiknya."
Vero memutar matanya. Oh! Ayolah. Mereka itu seumuran. Dia dan Vira kan, cuma beda lima minit je. Kenapa harus pakde sih, panggilannya? Ia jadi merasa sangat tua. "Mah! Kan sama ini umurnya. Kalo dipanggilnya pakde kedengerannya tua banget tau nggak."
Saat Iva ingin menceramahi Vero lagi, Vero buru-buru memotongnya. "Tapi, kalo di Jawa nggak boleh kayak gitu, Vero! Iya, Mah. Tapi, ini Jakarta, bukan Jawa Mamaku ...."
Iva melotot mendengar Vero menirukan ucapannya. Dia dengan geram menjewer keras kuping Vero. Vero tentu dibuat teriak keras karena jeweran mamanya tidak main-main. Sampai kupingnya merah pun, mamanya tidak akan melepaskan kupingnya.
"Oma, om Velo jangan dijewel. Kasian, nanti kupingnya jadi lebal." Vira yang baru saja datang membawa susu untuk Kenan, tertawa keras mendengar perkataan Kenan. Kenan sangat mirip dengannya, bahkan sikapnya pun persis, sebelas dua belas.
"Kenan, time to drink milk." Kenan berlari ke arah mamanya, lalu meminum tandas susu miliknya. Iva menatap sengit anaknya, setelah puas menjewer habis kuping Vero.
"VERO!"
"Apa sih, Mah?" kesal Vero. Kupingnya masih terasa sangat sakit akibat jeweran maha dahsyat dari mamanya. "Kamu kapan mau nikah? Masa kalah sama adek kamu!"
"Mah! Udah Vero bilang, Vero belum mau nikah! Lagian, Vero juga belum tua banget. Baru dua puluh empat tahun!" sungut Vero. Mamanya akhir-akhir ini selalu bertanya pertanyaan yang sama.
Vero bingung. Mamanya ini kenapa ngebet banget sih? Padahal cucu udah dikasih sama Vira juga. "Jangan bilang kamu belum move on dari Deana?"
Vero terdiam. Perkataan mamanya tidak sepenuhnya salah. "Tau ah, Mah! Vero capek!" sentak Vero. Vero berjalan cepat menuju kamarnya. Dibantingnya pintu kamarnya, Vero berjalan cepat menuju kamar mandi.
Vero menyalakan shower dan berdiri di bawahnya. Masih lengkap dengan bajunya, Vero memejamkan mata, menikmati siraman air yang mengenai tubuhnya.
"Ulululu ... baby aku kasihan banget sih."
"Satu suap lagi! Aaa ...."
"Ih! Gemes banget sih? Pacar siapa ini?"
"Sini! Peluk dulu."
"Kesayangan Deana, muka lucunya mana?"
"Mmm. Vero, aku mau es krim."
"Vero peluk Vero!"
"Vero, I love you."
Semua kenangan bersama Deana terus berputar di kepala Vero. Sudah enam tahun sejak kepergian Deana dari hidupnya. Tapi, Vero belum bisa melupakan segalanya tentang Deana.
Ya segalanya. Segalanya yang bersangkutan dengan Deana terlalu manis dan indah. Terlalu manis, hingga kepaitan melanda hidupnya. Terlalu indah, hingga semuanya hancur, lebur begitu saja.
Ia masih bisa melihat wajah Deana dalam mimpinya. Wajah cantik saat terdiam. Wajah imut saat ingin dimanja. Wajah polos saat tidur di sampingnya. Semua. Vero ingat.
Bahkan senyum Deana masih berbekas di ingatan Vero. Senyum yang selalu bisa menenangkan hatinya. Senyum yang bisa meredakan emosinya dalam sekejap.
Sangat indah seperti akan lenyap. Ya, itulah Deana. Vero sampai trauma dengan keindahan. Dia sudah tak percaya akan indahnya cinta. Dia takut ditinggalkan untuk kedua kalinya. Move on? Omong kosong bagi Vero. Hingga kini, Vero pun belum bisa move on dari Deana. Deana terlalu berarti dalam hidupnya.
Daren sudah beberapa kali mengenalkannya dengan cewek yang tak kalah cantik dengan Deana. Vero tidak menolak, takut menyinggung perasaan Daren. Tapi, tak sampai satu minggu, semua cewek yang mendekati Vero, tak kuat menghadapi Vero yang sekarang sangat dingin.
Ya. Vero yang sekarang sangat dingin kepada perempuan selain mamanya dan Vira. Dia belum tertarik untuk dekat atau bahkan berpacaran dengan gadis lain. Hatinya sudah terkunci. Dan hanya satu gadis yang bisa membuka kunci itu. Deana. Hanya dia.
Vero berharap, membasahi tubuhnya dapat membuat pikirannya semakin jernih. Ternyata dia salah. Semua kenangannya bersama Deana terus berputar. Hingga membuat kepalanya berdenyut sakit.
"De ... aku nggak bisa lupain kamu."
***
Huhu, pacar author sedih. Kasian ya. Ada yang mau sumbangin cewek gitu ke Vero. Yang mirip Deana tapi. Kalo nggak mirip, skip!
KAMU SEDANG MEMBACA
Transmigration of Bad Boy
FantasíaAnjir, gue dimana sih? "Nama saya Vero?" "Iya nama kamu Vero, Nak. Alvero Mahanta," Lah anjir, seinget gua nama gua Alvero Lucano dah! Kapan ganti namanya gua? Gue sebenernya dimana sih! Jangan bilang? Jiwa gue transmigrasi ke nih orang? Karena kece...