Hai semua. Akhirnya setelah sekian purnama, aku comeback lagi. Selamat membaca semua, dan juga selamat ....
~
Sekarang, Vero sedang disibukkan dengan persiapan ujian kelulusan. Semua sudah kembali berjalan normal. Kaki Bryan sudah dinyatakan sembuh total. Hanya saja, kehidupannya yang belum normal.
Vero masih menjadi cowok cuek. Jarang tersenyum, jarang berbicara, bahkan jarang bercanda ria dengan adiknya. Kegiatannya disibukkan dengan belajar terus menerus. Ia tak ingin mengacaukan kelulusannya. Ini sudah semester dua, dirinya harus mempersiapkan diri, agar mendapatkan nilai yang memuaskan saat lulus nanti.
Deana? Jangan ingatkan dirinya. Gadis itu masih egois dan menutup matanya di ruang ICU. Ini sudah lebih dari satu tahun dari kejadian tahun lalu. Dan Deana, belum juga pulih.
Vero masih setia mengunjungi Deana selepas pulang sekolah. Ia tak kenal lelah, untuk membujuk Deana agar membuka mata. Saat malam, dia pulang dan belajar. Begitulah kegiatannya sehari-hari.
Tok tok tok
Vero menoleh saat mendengar pintunya diketuk. Menutup buku yang sedang ia baca, kakinya berjalan mendekati pintu kamarnya. Saat dibuka, adiknya dengan senyum mengembang sedang berdiri di depan pintu kamarnya.
"Hmm?" tanya Vero.
"Anterin gue yuk." Vero mengernyitkan dahinya. Kepalanya menengok sana sini, mencari keberadaan pacar Vira.
"Bryan udah tidur. Gue nggak enak bangunin. Bentar aja kok, ke minimarket." Vero mengangguk singkat. Dirinya masuk sebentar, mengambil kunci mobil, dan keluar tak lupa dengan memakai jaket.
Saat perjalanan, suasana di dalam mobil benar-benar senyap. Vira tak tahu harus membicarakan apa. Sejak Vero menjadi cuek, dia canggung ingin memulai pembicaraan dengan saudara kembarnya itu.
Vira rindu Vero yang dulu. Yang selalu mengganggunya. Yang selalu membuatnya kesal setengah mati. Jujur, Vira rindu Vero yang dulu. Sekarang, berkata saja Vero hanya mengeluarkan satu atau dua kata.
Saat sampai di minimarket, Vira dan Vero berjalan beriringan. Vira hanya ingin membeli beberapa camilan untuk menemaninya belajar. Sungguh, belajar tanpa camilan itu neraka baginya. Sampai-sampai dia berfikir, bagaimana bisa orang lain belajar tanpa camilan, seperti Vero.
Vero terlihat berhenti di rak sabun-sabunan. Sepertinya, dia sedang mencari sabun untuk dirinya. "Ya udah, gue nyari cemilan dulu ya. Ntar gue ke sini lagi."
Vero hanya mengangguk singkat. Dirinya mulai memilih sabun yang cocok di indera penciumannya. Untuk brand, ia tak terlalu memedulikan satu hal itu. Yang penting wanginya cocok, ia akan pakai.
"Eh! Maaf. Aku nggak sengaja," tutur seorang cewek. Vero melirik sekilas cewek yang baru saja menabraknya. Terlihat cewek itu sibuk membereskan barang-barangnya yang berceceran, ke dalam keranjang.
Vero berjongkok, membantunya. Secuek apa pun sikapnya, dia masih punya hati nurani. Tangannya memunguti beberapa barang belanjaan milik perempuan itu.
"Makasih ya. Oh ya, nama aku Tama, nama kamu?" ujar cewek itu sambil mengulurkan tangannya, mengajak Vero berjabat tangan. Vero melirik sekilas tangan itu, lalu lanjut memilih sabun untuk dirinya.
"Oh, ya. Aku boleh minta nomer kamu nggak? Ini ketik aja di handphone aku." Tama mengulurkan ponselnya ke Vero. Lagi lagi Vero hanya melirik sekilas, dan lanjut memilih sabun.
Vira menatap tak suka cewek itu. Tak ada yang bisa menggantikan posisi Deana di hati Vero dan keluarganya. Ini, malah muncul ular dari mana lagi. Nggak kenal, main nyosor. Ular apa soang?
KAMU SEDANG MEMBACA
Transmigration of Bad Boy
FantastikAnjir, gue dimana sih? "Nama saya Vero?" "Iya nama kamu Vero, Nak. Alvero Mahanta," Lah anjir, seinget gua nama gua Alvero Lucano dah! Kapan ganti namanya gua? Gue sebenernya dimana sih! Jangan bilang? Jiwa gue transmigrasi ke nih orang? Karena kece...