11

847 130 52
                                    

Dari balik jendela Jisung dapat melihat secara perlahan cakrawala berganti warna, menjadi kian terang, tetapi tidak dengan suasana hatinya yang tengah muram. 

Ia sungguh tak dapat mengendalikan diri, ini memang bukan yang pertama kalinya tapi pertemuannya dengan Han Jaeya kemarin merupakan luka lama yang kembali terulang, sangat sakit. Rasanya Jisung sudah tidak waras menyalahkan Seokjin yang tidak tahu-menahu mengenai persoalan ini.  Seokjin adalah bocah kecil, tak mengerti pada skenario memuakkan ini.  Tentang dia yang bukan ayahnya, tentang siapa Han Jaeya dan Kim Taehyung yang sebenarnya. 

Kim Jisung menangis sepanjang malam, ingin saja mengubur diri di dalam kubangan air dingin menghabiskan malam sampai ia berdamai dengan dunia. Jisung berdecak kesal, mengambil langkah menemui anaknya. Ia merutuk keputusan bodohnya malam tadi.

Memohon maaf dengan gumaman yang terlampau lirih seraya mengusap puncak kepala anaknya yang tengah terlelap tenang. Jisung menangkap wajah pias itu, menangkap titik luka di beberapa bagian tubuh. Ia berhasil menyakiti Seokjin lagi dan merutuki dirinya untuk kesekian kali. 

Ayah bergegas mengobati dan memberikan kehangatan untuk tubuh dingin Seokjin dengan pelukan. Mengecup beberapa bagian wajahnya dengan sayang sampai Seokjin terbangun dan menatapnya melalui kedua bola yang berkaca, "Ayah, aku minta maaf." Seokjin tidak boleh menangis lagi.

"Tidak, bukan salahmu. Maafkan ayah, ya?" Jisung memeluk Seokjin dengan erat, begitu hangat. Ia menyesal, seharusnya dirinya tidak sebodoh itu kemarin. Seokjin tidak salah ketika hanya ingin mengetahui rupa ibunya. Tapi kenyataannya Jisung memang benar-benar tidak sanggup, terbesit bayangannya saja membuat ia ingin memaki pada takdir.

"Jangan menangis lagi. Lupakan yang kemarin. Ayah menyayangimu." Tangan gagahnya tak henti bergerak menyentuh surai Seokjin.

***

Lima hari telah berlalu sejak Ayah Jisung kehilangan akal sehatnya waktu itu. Kini ia mengajak Seokjin untuk berlibur menggunakan kereta api dan menetap di Kota Busan untuk beberapa hari. Busan adalah tanah kelahiran dirinya dan Seokjin. Tempat dirinya dan Han Jaeya juga bertemu dan menjadi sepasang kekasih yang panjang. Dan Kota Busan juga menjadi saksi bisu mengenai hati Kim Jisung yang hancur delapan tahun yang lalu.

Sekarang, dia datang lagi. Mencoba mendamaikan diri dan berpikir jernih, mencari titik terang sekaligus jawaban atas perasaannya yang tak henti gundah.

Persetan tentang pekerjaan dan sekolah anaknya. Udara Seoul akhir-akhir ini membuatnya kepalang muak.

Mereka menghabiskan waktu sekitar dua jam menggunakan kereta api, Seoul Metrapolitan Area menuju Busan. Dan hal yang pertama kali mereka sapa adalah hamparan pantai di Busan.

"Ayah, apa ada saudara kita yang tinggal di sini? Aku tidak pernah bertemu dengan sepupu, nenek atau kakek. Tidak mungkin tidak punya, bukan?" Sedari tadi Seokjin sibuk memandang tendangan ombak yang membasahi kakinya.

"Mereka tidak tinggal di sini, mereka sangat  jauh." Padahal selama ini Jisung yang memilih menghilang, tak lagi memikirkan bagaimana perasaan keluarganya selama ia pergi tanpa pamit sejak Han Jaeya membuang bayinya dan tak pernah lagi berhubung kabar dengan mereka. Entahlah, Jisung belum siap, bahkan tidak akan pernah siap. 

Ia tidak sanggup mendengar mereka yang memaki Jisung sebab mengorbankan hidupnya untuk yang bukan darah dagingnya. Apalagi hasil dari sebuah pengkhianatan.

Dahulu secara mendadak mengecap dirinya sebagai seorang ayah kendati ia tak pernah menanam benih di manapun, secara mendadak kedatangan bayi itu menciptakan nasib yang teramat rumit baginya.

Nampaknya Seokjin sangat menyedihkan hanya dibesarkan seorang diri oleh Jisung sekaligus segala kebohongan di dalamnya. Namun, akan lebih menyedihkan lagi andai kata Jisung memilih apatis lalu membiarkan bayi mungil itu mati di tangan ibunya sendiri.

GrievousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang