Teriknya siang membulatkan tekad Seokjin untuk menjilat satu stik es krim berperisa coklat sembari menggoyangkan kedua kaki yang menggantung dari atas tempat ia mendudukkan bokong. Peluh sebesar embun turut membasahi dahinya hingga pipi gembil itu berubah merah merona.
Seokjin masih setia menunggu kehadiran ayah untuk menjemputnya pulang ke rumah, ia masih betah berlama-lama duduk di depan sekolah asalkan es krim miliknya masih di tangan.
Beberapa menit kemudian ia memekik kegirangan kala klakson mobil ayah sampai ke telinga. Apalagi ketika ayah mendekat seraya merentangkan tangan akan memeluk erat tubuh sang anak. "Hey! Walaupun siang ini sangat terik, jangan lupakan peraturan ayah bagian tidak boleh mengkonsumsi es krim tanpa sepengetahuan ayah."
Kendati di omeli, kendati bibir tebalnya mengerut lucu, Seokjin tetap mengeratkan pelukan kepada ayah. Sampai-sampai ayah harus menggendong tubuh mungilnya ke dalam mobil.
"Anak nakal, jangan merengek jika terserang flu!" Ucap ayah sembari mengeratkan sabuk pengaman di tubuh Seokjin.
"Aku tidak nakal, Seokjin tidak melanggar tuh. 'Kan ayah tahu aku sedang minum es krim. Jadi, tak masalah." Ayah terkekeh pelan lalu mengacak surai hitam kecoklatan Seokjin.
Di perjalanan, seperti biasa; ayah akan bertanya bagaimana sekolahnya hari ini, bagaimana tentang kuis mata pelajaran, atau teman baik. Seokjin selalu menjawab sekolahnya menyenangkan, ia selalu berhasil memenangkan kuis, namun untuk teman baik Seokjin tak pernah menanggapi.
Ayah tersenyum bangga tapi sedetik berikutnya tersenyum miris kala melihat warna lebam di lengan Seokjin. "Ada masalah dengan teman, sayang?"
Seokjin menggeleng. Walaupun ia masih berusia delapan tahun Seokjin mengerti tentang beban berat yang dipikul orang dewasa apalagi orang tua. Jadi, apapun masalahnya Seokjin enggan bercerita. "Lalu lebam di lengan mu?"
"Terantuk ujung meja."
Ayah menghela nafas, bersyukur hanya lebam bukan luka yang mengeluarkan darah. Tapi sungguh, apapun itu yang melukai Seokjin, ia sangat marah. Ia tidak suka dan selalu merasa sakit jikalau sang anak terluka barang sebiji zarah-pun.
"Jangan pernah berbohong pada ayah ya! Apapun masalahmu, sampaikan pada ayah. Apa itu sakit sekali?"
"Tidak. Hanya sedikit."
Ayah mengecup sekilas puncak kepala sang anak sekaligus menetralisir rasa pedih di dalam dada. Lebam atau luka apapun itu, cukup menjadi trauma tersendiri bagi Kim Jisung sebab ingatan bagaimana sulitnya ia mengurus Seokjin saat jatuh sakit seorang diri.
»¦|¦« »¦|¦«
Kim Jisung senantiasa dirundung rasa cemas kala memikirkan sang anak. Seokjin memang tidak nakal, namun cukup sulit untuk diatur. Seperti, mengurus dirinya. Kim Jisung cukup sibuk untuk soalan pekerjaan. Ia tak punya waktu banyak untuk menghabiskan waktu dengan putra semata wayangnya. Untuk itu dirinya sangat sulit untuk mengecek keadaan sang putra. Baik itu tentang asupan nutrisi, pekerjaan sekolah, kesehatan atau cerita Seokjin. Dan Seokjin juga tidak ingin diurus oleh siapapun selain ayahnya. Hal ini benar-benar membuat Jisung was-was sepanjang hari.
"Seokjin, untuk dua hari kedepan ayah harus pergi ke luar kota. Ada urusan pekerjaan. Bagaimana menurutmu?"
Untuk sesaat Seokjin berhenti mengerjakan pr. Kemudian melanjutkan seraya menjawab enteng. "Tentu saja aku sedih."
"Ingin ayah pekerja kan seseorang untuk menjagamu?"
"Tidak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Grievous
Fanfiction[ks]. yang menyedihkan/memilukan. 𝐊𝐒𝐉| hurt-comfort © ieuaraz, 2019