Rintik-rintik air dari angkasa berbondong menyerbu bentala guna menciptakan warna tanah yang lebih pekat. Lembabnya suasana petang membuat Jisung lebih erat mendekap raga Seokjin, menyalurkan kehangatan satu sama lain serta hangatnya afeksi secara penuh.
Lewat dinding transparan yang menyuguhkan pemandangan dari dalam kamar, rintik yang semula renik berganti lebat seraya membawa banyak gumpalan angin yang kini tengah menyapu perlahan rindangnya pohon. Jisung menatap itu semua, bersama Seokjin yang tertidur di pelukannya. Meratapi predestinasi hari ini yang ia rasa sangat menyakitkan.
Pengkhinatan di masa lalu, bentuk kesalahan masa lalu yang ia besarkan, dan kepergian orang yang ia cintai, bekas sakit itu tidak dapat hilang. Jadi, tatkala dirinya mendengar alunan suara Han Jaeya yang begitu apik tersimpan di memoarnya, kemudian dihantam lebih keras lagi oleh presensi Han Jaeya membuat Jisung kalut setengah mati.
Air dari netranya menetes perlahan, rintihan dari isak tangisnya mendengung seantero kamar tidur. Jisung berupaya menahan suara perih seraya mendekap erat-erat tubuh Seokjin bersamaan dengan kecupan dalam di atas kening sang anak.
Sekuat apapun Jisung mencoba mempertahan pikirannya bahwa yang tadi itu hanya delusi, namun faktanya menolak sangat keras. Han Jaeya yang itu memang mantan kekasihnya, mereka bertemu di apotek siang tadi. Bertemu dengan atensi sepihak, Jisung yang menangkap eksistensi Jaeya namun wanita itu tak menyadari kehadiran mata Jisung yang berpendar kelam.
Satu lagi yang sukses membuatnya kacau berat secara batin, binar mata Seokjin yang bahagia menjalani hari baru di sekolahnya bersama Kim Taehyung yang menjadi teman akrab di sekolah untuk pertama kali. Jisung belum siap untuk menarik Seokjin dari euforianya, belum siap membuang pengalaman lingkungan baru yang Seokjin rasa luar biasa.
Tetapi, dia tidak bisa membiarkan Seokjin yang lambat laun akan bertemu ibunya. Seokjin tetap ada disana adalah risiko besar Han Jaeya bertemu anaknya yang ia campakkan.
"Jangan panggil dia ibu, nak. Aku orangtuamu, yang membesarkanmu, yang merawatmu, memberikan banyak-banyak kasih sayang padamu, mengorbankan banyak hal untukmu, aku orang yang memberimu nama sebagus ini. Jangan tinggalkan aku, Seokjin."
Demam Seokjin membuat ia mengigau memanggil kata ibu. Merintih lirih mengulang kata ibu bersama peluhnya yang bermunculan di epidermis membuat Jisung secara tidak langsung tertampar tepat di ulu hati.
••••
"Ayah, ayo jenguk Taehyung ke rumahnya!" celetukan yang keluar dari mulut Seokjin itu membuat ayah kelimpungan menata ekspresi dan konversasi untuk menanggapinya.
Untuk sejemang ayah terdiam dengan kepala tertunduk mengaduk sendok bekas obat sirup ke dalam air putih di gelas. Menyodorkan cepat ke dalam mulut Seokjin tanpa menghiraukan Seokjin yang menunggu jawaban dengan tatapan mata terang-menderang mengharap jawaban paling favorit kendati kelopak itu berkedip sayu, namun energinya meletup-letup membuat ayah takut salah omong.
"Kau juga sakit. Istirahat saja dulu untuk kesembuhan diri sendiri. Orang sakit bertemu orang yang sakit juga itu tidak dianjurkan." Jawaban dari ayah ini sukses membuat Seokjin mendelik tak terima, "Manabisa begitu, ayah. Nanti Taehyung keburu sembuh. Masa menjenguk orang yang tidak sakit?"
"Kalau begitu istirahat dulu agar Seokjin yang pertama sembuh dibanding Taehyung agar bisa menjenguk." Seokjin mencebik kesal.
"Ayah mendoakan Taehyung lama sembuh?" Ayah melotot kaget, tak habis pikir dengan isi kepala Seokjin dan mulutnya yang cerewet meskipun sedang tidak sehat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Grievous
Fanfiction[ks]. yang menyedihkan/memilukan. 𝐊𝐒𝐉| hurt-comfort © ieuaraz, 2019