Sudah berhari-hari lamanya, Seokjin tetap tak mau pergi kesekolah dengan alasan takut dan rasa bersalah yang masih membumbung tinggi. Ayah sampai lelah membujuk Seokjin dan mengiming-imingi semua yang Seokjin suka, semua tetap tak mempan.
Kerap juga ayah menemukan Seokjin yang diam-diam menangis di malam hari. Membuat hati ayah mencelos usai diiris pedih. Putranya yang menggemaskan tak henti dirundung nestapa dan uring-uringan tak jelas; semacam tak berselera makan dan lebih sensitif.
Sepatutnya Jisung yang marah-marah besar kepada nyonya Kang. Barangkali Seokjin sudah dibuat tertekan sajak lama, namun, kali ini adalah klimaksnya dan Jisung belum menemukan resolusi untuk mengobati Seokjin yang terus bersedih dan gelisah.
"Jika Jinnie mau makan, akan ayah berikan robot terbaru edisi terbatas yang hanya dimiliki oleh 5 orang didunia. Makan, ya!"
"Tidak mau!"
Bahu ayah merosot bersamaan dengan hembusan nafas panjang. Tapi ayah akan tetap tersenyum sampai Seokjin menangis lalu tersenyum lagi sampai Seokjin berhenti, pokoknya tidak kapok untuk terus tersenyum.
"Nanti kamu sakit jika tidak makan."
Seokjin memandang ayah dengan raut merengek, menunjukkan tangannya yang memegang dada disertai netra yang berkaca-kaca, "Sudah sakit ayah. Sakit sekali, sakitnya ada disini. Sesak rasanya, ah, aku juga pusing dibuatnya."
Ayah menjadi gemas bukan main, jarinya mencubit kecil bibir merah Seokjin hingga air mata sang anak tumpah merebak di pipinya yang semakin merah. "Anak ayah jangan terlalu menggemaskan, nanti banyak wanita yang mau melamar menjadi ibumu."
Seokjin semakin terisak. Ayah menjadi panik, "Cup cup cup, shh, jangan menangis!"
Jadinya mereka berpelukan, pelukan hangat yang sangat Seokjin butuhkan dan buntalan imut yang sangat ayah cintai. Seokjin berhenti menangis, tapi masih sesenggukan. Dengan matanya yang merah nan berkaca-kaca, Seokjin menatap serius ayah, "Aku mencintai ayah sampai mati titik!"
※
Bibir Seokjin maju dua senti---mengerucut lucu sedang bola matanya bergerak sinkron mengikuti jari yang menari seraya memegang pensil warna dan crayon, menandakan seorang Kim Seokjin tengah fokus memoles kertas berisikan imajinasi miliknya.
Tiba-tiba ayah datang menderet kursi untuk duduk lalu memandangi wajah serius Seokjin yang sedang melukis di meja makan. Ayah memainkan poni sang anak yang menggantung dan Seokjin yang tak acuh dengan kehadiran ayah. "Jadi kapan mau masuk sekolah?"
Seketika Seokjin berhenti dengan pensil warna beserta antek-anteknya. Menatap ayah dengan tatapan mengintimidasi. "Aku tidak mau sekolah!"
"Loh mengapa, Seokjin?"
Mata Seokjin rasanya memanas, ia belum siap untuk hadir ke sekolah melihat presensi seluruh temannya usai peristiwa lampau waktu itu yang membuatnya tak henti menyalahkan diri, Seokjin tak tahu sampai kapan ia harus merasa seperti ini. Seokjin malu sekaligus takut, masih membekas juga di ingatannya bagaimana ibu Woojin yang membentaknya habis-habisan.
"Takut..."
"Masih memikirkan keadaan Woojin? Dengarkan ayah, Woojin baik-baik saja. Mungkin dia sudah berlarian kesana-kemari bersama temannya. Tidak perlu takut, kalau bertemu nanti minta maaf saja dengan Woojin. Kalau terus difikirkan bisa-bisa Jinnie sakit kepala."
KAMU SEDANG MEMBACA
Grievous
Fanfiction[ks]. yang menyedihkan/memilukan. 𝐊𝐒𝐉| hurt-comfort © ieuaraz, 2019