15

381 36 14
                                    

Seokjin duduk di tepi halaman rumahnya lengkap dengan pakaian sekolah. Jarinya yang sudah tumbuh lebih besar sedang menggoreskan kerikil tajam pada lantai semen yang penuh debu, dengan raut tak bersahabat mencerminkan kondisi hatinya yang hampa. Ia merasa jenuh melirik sekilas presensi ibunya yang kerepotan membenahi Taehyung yang masih sibuk mengunyah roti dan butir gula yang lagi-lagi mengotori sudut bibirnya. 

"Tunggu sebentar, ya, nak." Ibu berteriak, grasa grusu mengurus Taehyung yang belum pandai memasang dasi, padahal sudah kelas lima. Ibu juga masih harus menyisir rambutnya, memastikan tali sepatunya terikat dengan benar dan memeriksa isi tas dan tugas sekolah Taehyung. Benar-benar menyebalkan menurut Seokjin.

Seokjin semakin keras menggosok kerikil itu pada lantai semen yang kasar hingga jarinya memerah berakhir dengan lemparan batu kecil itu ke sembarang arah dengan dadanya yang naik turun. Pemandangan memuakkan ini sudah ia jalani menahun.

"Kenapa lama sekali?! Nanti terlambat." Seokjin berteriak kesal. Rasa bosan dan muaknya menyatu. Melihat kasih ibu pada Taehyung membuat dadanya panas. Sial, dirinya bisa melakukan banyak hal sendirian, tidak seperti adiknya yang lebih banyak diperhatikan. 

Sejak dulu ia adalah anak tunggal yang penuh kasih dari ayah dengan waktu seadanya hingga dirinya tumbuh lebih mandiri. Ayah hanya mengajarinya satu atau dua kali dan Seokjin akan terbiasa melakukannya sendirian. Setiap pagi ayah hanya akan memandanginya yang sedang becermin merapikan rambut dan dasi. Cara ayah dan ibu mengurus anak memang berbeda, dan Seokjin baru merasakan itu sekarang ini.

Ia merasa kecil hati berada di tengah ibu dan Taehyung, terasa asing, merasa dirinya tidak berarti.

Ada rasa sesal yang baru dirinya sadari. Andai saja sejak dulu ia tidak banyak menuntut tentang ibu pada ayah, andai saja ia mendengarkan perintah ayah untuk menjauhi Taehyung sedari lama. Semua itu tidak akan membuat Seokjin berdiri di sini, sendirian menelan rasa cemburu dan kesepian yang lebih besar.

"Maaf, ya, sayang. Ayo masuk ke mobil." Ibu merangkul bahunya.

"Sebentar lagi naik kelas 6, tak terasa saja kalian akan masuk smp. Tapi Taehyung masih tidak pandai pakai dasi. Belajar lagi seperti Seokjin yang pandai mengurus diri, Taehyung."

"Sudah, ibu. Tapi rasanya sulit sekali." Ucap Taehyung.

Seokjin menebalkan telinganya. Pemandangan aspal yang hitam dan basah lebih menarik dibandingkan celotehan ibu dan anak manjanya itu. Tak peduli dengan namanya yang disebut-sebut dan tatapan antusias Taehyung yang tertuju padanya. Pujian ibu terasa seperti belati setiap harinya. Seokjin semakin pandai karena ia tidak bisa mengandalkan siapa pun pada kenyataannya.

Ia tidak ingin mengandalkan ibu dan siapa pun lagi.

Sayangnya saat matahari naik ke atas kepala dan sinar kuningnya yang berhasil menyipitkan mata, tercipta keringat bak aliran sungai pada tepian dahinya lalu kedipan matanya melemah. Taehyung terus menatap gusar dirinya. Seokjin membenci itu, ia tidak suka gelenyar hangat dari Taehyung atau ibu, ia benci dipandang lemah.

Ayah pernah mengatakan Seokjin harus menjadi lebih kuat, sebab ayah tidak selalu berada di sampingnya.

Tatapannya berbayang, deru napasnya semakin panas hingga dadanya merasa sesak, sudut matanya pun sudah menganak sungai. Taehyung terus menggenggam jari tangannya yang basah, dan Seokjin tidak mampu menepis lagi. Seokjin bahkan tak kuasa mengangkat kepalanya yang terbaring di atas meja sedang sebelah tangan yang menjadi bantalan.

Di sela-sela itu ia masih bisa menangkap langkah ibu yang panik, masih dengan pakaian kantor yang selalu dilihatnya saat pagi dan sore dalam beberapa waktu ini. Tampak gusar berbicara dengan wali kelasnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 29 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

GrievousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang