Seokjin merasakan keheningan dalam ruang suasana pagi ini dikelas. Lantaran ia merasa kurang baik dalam kondisi tubuhnya, ia memilih beristirahat di kelas—tidak ikut dalam praktek pelajaran olahraga yang membosankan.
Mari dengar sedikit kesedihan Seokjin dalam kegiatan belajar, mengapa membosankan? Kenyataannya lebih merujuk pada kesakitan batin. Sejujurnya alasannya klise, Seokjin tidak punya teman. Sebab jika sudah pembagian kelompok dapat dipastikan semua orang akan menghindar untuk satu tim dengan dirinya.
Sakit bukan, saat banyak orang tidak menginginkanmu? Maka sepanjang pelajaran Seokjin senantiasa dirundung rasa pahit disertai kesakitan pada batin. Padahal ia adalah murid yang pintar, sebut saja ia termasuk salah satu peringkat sepuluh besar dikelas.
Tapi ya sudahlah, gelar anak terlarang sudah melekat erat pada eksistensinya. Mau sepintar apapun, sebaik apapun, status buruk akan senantiasa berada didepan.
Namun, Seokjin menyadari ikut tidak ikutnya kegiatan olahraga, keduanya sama-sama membosankan. Tapi dari pada ambruk di lapangan lebih baik menindurkan kepala di atas meja.
Entah berapa menit yang Seokjin habiskan untuk tertidur. Ada satu tangan yang menepuk keras pundaknya. Saat Seokjin mengerjap terlihatlah tubuh berkeringat Woojin yang memegang pundak Seokjin.
Lalu saat kabut dimata digantikan dengan penglihatan yang jelas. Beberapa konco Kang Woojin ikut berdiri, meneriaki Woojin untuk mengajak Seokjin duel di luar kelas.
Seketika sekelebat, kilasan kalimat menyakitkan dari mulut ibu Woojin menghampiri benaknya. Namun, ucapan ayah untuk menghindar juga hadir untuk menurunkan emosi Seokjin.
Seokjin menepis lengan Woojin yang seenaknya bertengger, lalu berdiri agar terhindar dari aksi buruk Woojin yang akan terjadi kedepannya. Tapi Seokjin dengan cepat tersungkur dilantai sebab Woojin yang menjegal kala Seokjin akan berjalan.
Seokjin meringis, dipastikan tulang kering pada kaki kanan memberi warna indah lagi disitu. Teman-teman yang lain beserta Woojin menertawakan Seokjin. Tak menyadari betapa emosinya Seokjin pada mereka.
Woojin menarik kerah Seokjin lalu memukul perut Seokjin hingga punggungnya menabrak dinding dengan keras, juga menghantukkan kepala Seokjin di dinding yang meludahi Seokjin yang terduduk lemas.
Seokjin menggeram, tak hanya fisik, hatinya juga teramat sakit berkali-kali diremehkan oleh semua orang dikelas. Maka Seokjin bangkit, mengepalkan tangan dengan kuat, mengumpulkan tenaga sebanyak mungkin lalu melayangkan hantaman tepat di hidung bengir Woojin.
Anak gempal itu tersungkur, hidungnya mengeluarkan darah sangat banyak. Woojin terdiam sebab tak menyangka Seokjin akan membalasnya dengan amarah yang sangat besar. Karena Seokjin tak berhenti.
Seokjin mendekat ke arah Woojin, mencakar kuat wajah Woojin lalu memukul tanpa henti sembari berteriak dan menangis. Lalu mencekik leher Woojin tanpa peduli ia akan mengakhiri nyawa temannya hari itu juga.
Woojin tak dapat berbuat apa-apa. Tubuh Seokjin sudah menghimpit tubuhnya. Woojin juga tak dapat bernafas dengan serta rasa pening dan sakit yang kelewat kentara. Teman-teman hanya menonton tanpa ada satupun yang dapat membantu—tidak seperti yang Woojin harapkan.
Hingga wali kelasnya masuk lalu memekik melihat pergulatan yang terjadi di dalam kelas. Ia segera memisahkan perkelahian antara Seokjin dengan Woojin. Ibu guru Kim bersimpuh untuk membantu Woojin sedang Seokjin memilih meninggalkan kelas dengan rasa bersalah yang besar.
»|¦|« »|¦|«
Jisung sedikit terlambat atas panggilan dari wali kelas Seokjin beberapa menit yang lalu. Tak sengaja melihat Woojin yang katanya bermasalah dengan Seokjin sedang tergeletak lemas di kasur UKS.
KAMU SEDANG MEMBACA
Grievous
Fanfiction[ks]. yang menyedihkan/memilukan. 𝐊𝐒𝐉| hurt-comfort © ieuaraz, 2019