6

1.9K 238 40
                                    

Menginjak pedal rem dengan gesit tepat di depan gedung sekolah sang anak, Jisung menghela napas dan akan meminta maaf sebesar-besarnya kepada Seokjin sebab sangat-sangat terlambat menjemput.

Selain karena pekerjaan di kantor yang tanggung untuk ditinggalkan lalu ajakan makan siang oleh atasannya dan paling sialnya terjebak macet hampir setengah jam. Jisung sukses merutuk akan keadaan sial siang ini.

Selepas menginjakkan kaki di tempat penungguan jemputan orang tua dan tidak mendapati Kim Seokjin tengah menunggu, Jisung mempercepat langkah untuk masuk ke dalam gedung sekolah lalu—kemudian meminta kejelasan kepada wali kelas Seokjin mengenai presensi sang anak yang tak ia temui dan membuat jantungnya berdebar tak keruan.

"Seokjin pergi kerumah Taehyung, Ayah Seokjin. Ibunya Taehyung bilang ia akan mengirimkanmu pesan tentang ini, sudah di periksa pesan yang masuk?"

Lantas langsung mengambil ponsel sambil menompang kening. Ia lega, menghembus napas panjang seraya mendongak dan menutup mata. "Astaga aku panik sekali tadi."

"Saya memaklumi, kalau begitu saya permisi, Pak."

"Terimakasih, bu."

Jisung berjalan gontai menuju mobil, padahal ia sudah susah payah menjemput,  melewati berbagai macam problema di tengah jalan lalu alhasil tak ada Seokjin yang biasanya menyambut bunyi klakson mobil sang ayah. Ya, ini karena kecerobohan dirinya yang mengabaikan dentingan bunyi pesan daring yang masuk.

Disana tertera (pesan dari nomor ibu Taehyung) penjelasan mengapa Seokjin kerumahnya dan mengirim detail alamat rumah lalu informasi perihal keadaan Seokjin dan makan siang yang akan dilakukan bersama oleh mereka.

Mau tak mau Jisung harus menghubungi nomor Ibu Taehyung untuk bertanya lebih, "Apa ini dengan ibunya Kim Taehyung? Jam berapa aku bisa menjemput anakku, Nyonya?"

"Ah iya, aku ibunya Kim Taehyung. Mereka sedang bermain, jemput Seokjin jam tiga sore saja, Tuan."

Jisung tertegun, ia merasa sakit seketika tanpa kejelasan penyebab. Ia tak mengenal suara ini tetapi merasa familiar.

Buru-buru bersiap menutup, "Ya. Maaf kalau Seokjin merepotkan disana. Aku menutup telponya, Nyoya."

Tanpa mendengar kalimat apa yang selanjutnya akan meluncur dari bibir wanita di seberang sana. Jisung melajukan kendaraan menuju kantor kembali, sepanjang perjalanan ia tak nyaman. Merasa resah, pening dan membenci situasi secara mendadak.

Jisung memikirkan mantan kekasihnya, ia memikirkan ibu kandung Seokjin. Ia sudah teringat perihal suara familiar tadi dan suara itu begitu mirip.

Entah hanya perasaanya saja, tetapi ini begitu menyiksa untuk dirinya. Katakan Jisung sangat lemah akan perlakuan tak pantas yang dilakukan mantan kekasihnya dahulu. Ia sangat cinta, bahkan terbilang berlebihan. Jisung yang selalu memberikan banyak hal; baik itu materil, waktu, kepercayaan dan kasih sayang. Semuanya. Sampai pada akhirnya wanita tersebut berkhianat.

Jisung mengusap air di ujung mata yang hendak menetes. Rasanya sakit sekali saat wanita tersebut menyembunyikan hubungannya dengan pria kriminal yang membenci Jisung mati-matian, menyembunyikan kehamilannya, dan menghilang selama 6 bulan bersamaan dengan kata-kata bualan tak masuk akal. Lalu datang tanpa kejelasan tahu-tahu membawa kejutan berupa bayi untuk diserahkan secara paksa. 

Kekasihnya sangat hancur saat bertandang ke hadapan Jisung, babak belur dan menyakitkan, meletakkan anak tanpa nama secara sarkas, berteriak bahkan nyaris terlihat seperti orang gila. Memaki seorang bayi yang tak bersalah di hadapan Jisung dan mengatakan segalanya perihal dosa yang selama ini ia sembunyikan dari Jisung.

GrievousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang