Jisung tidak tahu perasaan apa yang tengah menggerogoti benaknya. Sedari tadi ia sulit untuk menyusun raut wajah yang pas di hadapan kedua orang tuanya dan bocah kecil yang menatap linglung di sisinya.
"Kau ke mana saja selama ini, Nak?" Ayah juga melontarkan tanya yang sama.
Apa yang harus ia jawab? Selama ini dirinya diharuskan berlari sejauh mungkin dari dunianya yang telah retak, memilih hidup pada semesta yang baru dan orang-orang yang tak pernah ia jumpai sebelumnya. Selama ini ia hanya menciptakan skenario seolah dia adalah seorang duda muda yang sibuk mencurahkan afeksi serta darah dan keringat untuk anak semata wayang yang bukan berasal dari dirinya, ia berusaha keras melupakan dari mana Seokjin berasal.
Melihat anaknya yang terdiam menatap hamparan angkasa yang biru cerah dengan tatapan resah, pria berkepala lima itu mengerti, putranya tengah kesulitan menyusun kata. Sebab ini sangat sulit dimengerti mengenai alasan bertahun-tahun Kim Jisung hilang dan kembali bertemu dengan dirinya yang menenteng sebuah tangan kecil dan polos itu.
"Bagaimana kabarmu?" Pria tua itu mengganti kalimat tanya.
"Aku sangat baik, Ayah, Ibu." Ia tersenyum getir. Menyesali keputusannya memilih Busan sebagai tempat pelarian. Jisung rasa masalah baru akan segera dimulai.
"Kembalilah ke rumah. Ibu tidak memintamu untuk menjelaskan semuanya hari ini, kami sudah lama menunggumu pulang, Nak." Ibunya memohon dan menitikkan air mata kembali.
"Maafkan aku, Ibu. Aku harus segera kembali ke rumah."
"Rumahmu di sini. Setiap hari Ibu membersihkan kamarmu, kau pasti merindukan kamarmu 'kan? Ayo kembali ke rumah." Kim Jisung mendesah berat, mengusap kedua kelopak yang basah ulah air mata. Ia menggenggam tangan Seokjin erat.
Sedari tadi Seokjin hanya mendongak bingung menatap tiga orang dewasa yang jauh lebih tinggi dari pada tubuhnya. "Berarti mereka ini Kakek dan Nenekku? Benarkah begitu, Ayah? Tapi beberapa hari yang lalu Ayah bilang mereka jauh sekali dari kita. Lalu sekarang kenapa mereka ada—"
"Aku pamit, Ayah, Ibu." Ia segera memotong suara Seokjin dan melangkah cepat untuk pergi dari hadapan keduanya.
"Sebenarnya kau kenapa, Kim Jisung? Pulanglah dan jelaskan pada kami, tidak harus semuanya, setidaknya bicaralah agar kami mengerti!" Jisung melihat ayahnya yang mulai jengkel, kalimat itu terlempar dengan nada tinggi.
"Tidak sekarang, Ayah!"
Kemudian Ibunya terisak deras dan kehilangan tumpu untuk berdiri. Ayahnya menatap matanya dalam, ada permohonan yang teramat dari bola mata ayah. Kim Jisung tidak tahu harus berbuat apa, dia menyadari bahwa sedari tadi ia sudah sangat tidak sopan pada orang tuanya, namun akibat isak tangis yang melolong dari mulut ibunya, ia luluh, kalah untuk menghindar lagi.
Sementara Seokjin sontak merasa cemas, mendengar tangisan deras seorang nenek, kakek yang bersuara tinggi serta ayahnya yang meramat telapak tangannya kelewat erat disertai gemeletuk rahang, ia merasa sangat takut dan tidak mengerti apapun.
"Baiklah." Jisung menyerah tentang apa yang akan terjadi selanjutnya.
***
"Kembalikan dia pada ibunya!"
Raut ayah dan ibu yang mencapai 50-an itu tampak keruh—kentara tidak suka selepas Jisung mengatakan dirinya tidak pernah menikah dan menjelaskan apa yang telah ia lewati selama lebih dari delapan tahun ini.
Kini dirinya dengan Ayah dan Ibu tengah duduk di ruang tamu dengan tiga gelas teh di atas meja. Munafik jika Jisung tidak merindukan rumah tempat dia tumbuh dan besar. Tidak banyak yang berubah, ini masih sama seperti sebelum dia pergi hampir sepuluh tahun lamanya. Sedangkan putra kecilnya ia suruh menunggu—beristirahat di kamar tidur yang sejak dulu ia pakai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Grievous
Fanfiction[ks]. yang menyedihkan/memilukan. 𝐊𝐒𝐉| hurt-comfort © ieuaraz, 2019