4

2.2K 287 41
                                    

Kepalanya di sandarkan lelah pada dinding dingin di kala malam. Memejamkan mata guna menetralisir rasa sesak di dalam dada.  Ada banyak persoalan krusial yang bercokol di dalam benak. Lantas Jisung termangu memikirkan jalan cerita apa yang akan datang di kemudian hari.

Seokjin dirawat dirumah sakit. Anak kecil yang selama ini ia rawat diam-diam mengalami gejala psikosomatik. Apa ini salah ayahnya? Tentu Jisung mengangguk. Ia jahat, Jisung gagal menjadi ayah yang baik.

Mau bagaimana lagi? Ia seorang diri, tanpa siapapun yang dapat mengurus buah hatinya. Hatinya memang kerap tak tenang bilamana berpisah, Seokjin hanya mau Jisung tempatnya bermain dan ibunya untuk menanyakan kejelasan perihal afeksi.

Satu hal yang tidak boleh ketahui oleh sang anak; Kim Seokjin bukanlah putra kandung Kim Jisung. Tetapi sungguh, ia tidak berbohong bahwa seluruh afeksi yang ia tuang pada cerita hayat sang anak adalah suatu hal yang sungguh tulus. Bahkan terlampau sayang hingga ia tak membiarkan putranya tahu sejengkalpun tentang wanita bodoh yang menyia-nyiakan putranya.

Tapi apapun rahasia yang disimpan lambat laun pasti akan terungkap, hal itu telah menjadi hukum alam, agaknya.

Ada helaan napas panjang yang Jisung hembuskan. Pikirannya penat. Tak mau berlama kendati Jisung butuh waktu untuk menjernihkan segala problema yang tersangkut. Jisung harus menapak tungkai di kamar Seokjin, memilih menelungkupkan wajah di samping ranjang. Di bawah lampu temaram dan dinginnya malam. Bersama Seokjin yang tertidur pulas, Jisung meneteskan air mata. Hatinya berbicara keras mengatakan kata maaf sebesar-besarnya bila Seokjin tak akan pernah merasakan sentuhan tangan ibunya.

Ia akan jadi ayah yang paling keren di dunia. Seokjin tak perlu ragu, sungguh, apapun itu alasannya; Jisung sangat menyayangi Seokjin. Di dalam hatinya juga ada satu kalimat yang tak pernah lepas memeluk, perasaan tak ingin di tinggalkan oleh Kim Seokjin.

"Besok harus bangun dan buang raut murungmu terhadap ayah. Harus tersenyum, Seokjin!" Mengusap penuh kasih di atas surai.

Seokjin harus membanggakan tanpa seorang ibu.

/////

Melihat matahari pagi yang seolah tersenyum kepada Seokjin. Ia senang sekali saat ayah mengajaknya ke taman rumah sakit. Kata ayah berjemur di pagi hari bagus untuk kesehatan. Seokjin jadinya tak sabar, apalagi matanya terus bergerak mencari seseorang kalau-kalau tanpa sengaja menemukan presensi Kim Taehyung.

Seokjin lupa ruangan Taehyung nomor berapa. Tapi katanya bocah itu sering berada di tempat ini.

Bersama ayah yang banyak bercerita sejak tadi dan sebuah roti di tangan. Seokjin masih berusaha mengingat Kim Taehyung berada di ruangan mana. Yah, ini mengganggu pikiran nampaknya.

"Ayah, ayo kesana!" Girang bukan main, matanya menatap sang teman ( teman satu hari) tengah terduduk seorang diri. Bibirnya mencebik sedih, lalu matanya sibuk menatap kaki yang menggantung di kursi lalu di goyangkan. Taehyung pasti habis di peluk bosan, kehadiran Seokjin mungkin dapat membantu Taehyung untuk menarik sudut bibir.

Ayah masih mengernyit, "Kenapa kesitu?"

Seokjin berdecak, tentu saja untuk bertemu Taehyung. Ayah tidak pengertian. "Kesana, dia temanku. Aku ingin berbicara padanya."

"Sejak kapan? Kok ayah tidak tahu, ya?"

Baiklah, wajah Seokjin jadi tidak enak dipandang. Kalau rasa kesal memang dipancing bisa-bisa matanya ikut berembun lalu pipinya mengalami bencana berupa becek. Jisung mendorong kursi beroda ke arah seorang bocah yang termenung.

GrievousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang