13

1K 128 26
                                    

Mereka kompak tatap dua buah kelopak bening itu diisi oleh telaga, si kesayangan itu tak mampu berucap, hanya bisa menangis tanpa hadir suara. Kepalanya belum bisa menerima takdir, pun hatinya belum mengukir rasa percaya, segala seolah berada pada awang-gemawang. Juga, untuk mengatakan bahwa ini mimpi ia mau tak mau.

Sejatinya ia masih seorang bocah kecil yang hampir menginjak usia sembilan dalam dua bulan ke depan. Dirinya masih sukar untuk menelan persoalan yang krusial baginya.

Ayah melemparkan suatu pilihan, maka Seokjin hanya mampu mematuhi nalurinya. Raga ayah adalah yang paling familiar di hati. Perasaannya lebih besar untuk ayah. Sosok seorang ibu masih saja terasa jauh kendati Han Jaeya telah berdiri di sisi kanannya.

Padahal bertemu ibu adalah yang paling ia nantikan selama ini akan tetapi, kini tidak seperti yang dia harapkan. Seokjin teramat kecewa sebab dia dan Jaeya sudah bertemu jauh-jauh hari namun, ibu tidak mengenal dirinya. Mengapa baru sekarang?

Jadi, ketika Seokjin belum siap pada situasi yang menyerang dan ayah yang menambah tembakan hingga sukses membuat Seokjin seakan hilang akal. 'Ingin tetap bersama Ayah atau dengan Ibu?'

Ia kontan merasa takut, kalimat tanya dari ayah mendadak membentuk spekulasi bahwa ayah akan meninggalkan dirinya, bahwa waktu ayah sudah selesai sebab Seokjin sudah bertemu ibu. Tidak seperti ini yang Seokjin inginkan, dirinya tidak mau kehilangan ayah, dia mendambakan kelengkapan; ada ayah dan ibu yang senantiasa menggenggam kedua telapaknya.

Namun, persetan dengan itu—setelah Seokjin menjumpai takdirnya, presensi ayah jauh lebih berharga ketimbang saat ini ia sudah berjumpa dengan ibu. Rasa khawatir itu menyergap begitu kuat. Seokjin buru-buru meraih tangan ayah, memuntahkan tangisan pecah, dadanya teramat sakit.

Dua orang dewasa di masing-masing sisi nampak kelabakan. Sampai pada akhirnya Han Jaeya harus menelan kepahitan, Seokjin memeluk kaki Jisung teramat erat dan berulang kali merintihkan kata ayah. Jaeya menyadari dirinya tidak bisa dimaafkan terlalu cepat, dirinya tidak berarti apa-apa di hidup putra sulungnya itu. Kim Jisung sepadan mendapatkan rasa sayang sebesar itu.

Jaeya tidak layak cemburu ketika Kim Jisung mengangkat tubuh Seokjin yang sesengguk ke dalam dekapan yang erat, tubuh kecil Seokjin tenggelam dalam gendongan koala ayahnya. Jisung mengusap punggung itu begitu halus, membubuhi kecupan pada pelipis Seokjin dan berujar maaf, memberikan perasaan nyaman yang paling baik. Tidak mengherankan jika naluri Seokjin memilih Jisung, ia pria yang begitu baik, Jaeya bahkan tidak pantas untuk menyesali kesalahannya. Dengan tidak tahu diri Ia merasa beruntung namanya pernah tersemat di hati Kim Jisung.

"Kita akan menyelesaikan ini di lain waktu. Semoga Taehyung segera sehat. Aku pamit pergi." Akibat kesedihan Seokjin yang belum berakhir, mereka tidak bisa melanjutkan konversasi ini.

Jisung melangkah lawan arah sampai Jaeya tak lagi dapat menangkap punggung Jisung dan wajah basah puteranya.

***

Mengaduk secangkir kopi yang menembakkan kepulan asap di udara malam, tepat tengah malam, bergerak ironi, Jisung tidak bisa tertidur, terlampau sukar untuk menyelami mimpi. Namun, dirinya malah menuangkan bubuk kopi dan menyeduhnya dengan air hangat tanpa gula. Menyesap kopi dengan pikiran yang masih berpusat pada peristiwa hari ini.

Jisung menghela napas sampai dagu, melihat reaksi Seokjin siang tadi membuatnya merasa bersalah. Ia akui bahwa sudah keterlaluan tanpa aba-aba menyerahkan pilihan yang berat untuk diterima oleh Seokjin, tanpa sempat menikmati euforia yang tergambar dari raut sang anak, dirinya malah melihat garis ketakutan di sana.

Tetapi Jisung memang tidak bisa membayangkan kalau Seokjin akan merasa begitu senang sebab sudah terlebih dahulu bertemu Han Jaeya, terlebih wanita itu telah meninggalkan kesan luka pada pertemuan terakhir mereka.

Yang Jisung lakukan hanya bertujuan untuk menepis keegoisannya, ia tidak bisa terus menerus berlari dan berusaha menutup mata Seokjin dari kenyataan meski tidak seratus persen Jisung dapat menjelaskannya. Seokjin akan mengetahui itu semua perlahan, suatu hari nanti.

Ia tak lagi harus membenci Han Jaeya, menjauhi keluarganya, membatasi banyak hal kepada Seokjin, sebab sejauh ini yang ia lakukan seolah menjadi tabungan beban yang kian hari kian penuh.

Seokjin berhak menentukan perasaannya.

Han Jaeya juga berhak menyesal.

Kedua orang tuanya pun berhak merindukannya.

Kim Jisung tidak boleh melampaui batas sebab pada akhirnya hanya melahirkan luka yang lebih besar lagi.

Sampai baskara mengintip di balik celah angkasa dan bulan meninggalkan singgasananya, Jisung masih duduk berdiam diri menatap setengah genangan kopi dalam gelas yang sudah dingin.

Jisung menarik simpul, sejauh ini dia serakah dan dendam, dua hal itu yang membuat harinya kesulitan. Jauh untuk mengecap bahagia yang sempurna. Jadi, apa yang selama ini ia kejar?

Jisung menghela napas lelah sembari menumpu telapak tangannya pada wajah, ia mengusaknya kasar. Kim Jisung harus belajar lebih banyak.

Pagi ini dia meninggalkan rumah, meninggalkan Seokjin yang masih pulas hingga pukul delapan pagi. Jisung akan mendatangi kediaman sahabatnya yang bekerja di bidang potografi dan percetakan.  Usai menggeser puluhan gambar melalui tombol kameranya, Jisung berencana membuat album untuk itu. Dua buah buku seperti permintaan Seokjin.

Entah apa yang akan dirasakan anaknya  kala terbangun tanpa siapapun di rumah. Seokjin memang sering seorang diri di rumah, tetapi keadaannya berbeda. Jisung tengah kalut dalam kepala, kebiasaan buruknya, ia membenci itu. Jisung selalu menghindar tanpa tahu apa yang akan menimpa objek kesakitannya, tanpa peduli kekacauan selanjutnya.

"Sudah selesai, kau mau sampul yang seperti apa?"

"Berwarna biru langit, sesuatu yang terlihat menenangkan."

Aku dan anaku menyukai itu.

"Aku rasa ini yang kau inginkan." Jisung menyukainya, maka Seokjin tentu menyukainya.

Jisung kembali dengan kantung plastik berisi ayam goreng hangat. Mereka akan makan siang. Dirinya disambut dengan pipi gembil yang tidak kering, sesuai dugaan Seokjin menangis. Namun, mereka tak ingin membuat itu menjadi dramatis. Suasana kali ini juga berbeda, rasa dingin itu begitu ketara.

"Ayah sudah mencetak albumnya, Nak." Di sela-sela makan siang mereka.

Seokjin membanting sendok, menatap tajam Jisung dengan pelupuk mata yang kembali menggenang, nafasnya terlihat naik-turun. Jisung melihat ada amarah di rautnya.

"Lupakan tentang album dan kenang-kenangan. Ayah tidak boleh meninggalkanku! AYAH TIDAK BOLEH PERGI!" Seokjin berteriak pilu, wajahnya merah total. Anak itu bangkit beserta isak tangis yang naik turun.

Blam!

Pintu kamar itu terbanting kencang. Makan siang yang hambar itu lenyap, menyisakan rasa pahit, terasa luluh lantah. Jisung menatap nanar sendok steinlis dan butir nasi yang tercecer di lantai. Kemudian di balik pintu puteranya itu menangis keras.

"Ayah berusaha meninggalkanku. Ayah berusaha mendekatkanku dengan ibu. Waktu ayah seakan sudah habis, tapi aku tetap ingin bersama ayah. AKU TIDAK MAU BERSAMA IBU!" Anak itu terus meracau deras.

Dan Jisung juga berhak memperbaiki perasaannya.

"Ayah akan membuatmu merasakan kasih sayang ibu." []


GrievousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang