SATU

170 9 0
                                    


"Saya terima nikahnya Yunanda Gumilang binti Heru Gumilang dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!" Kalimat indah itu terdengar lugas dari mulut seorang pemuda yang sangat gagah mengenakan jas pengantin berwarna hijau tua. Bagi wanita yang berada di sampingnya, ini adalah hari kemenangannya. Setelah bertahun-tahun mengaharapkan lelaki itu, pada akhirnya sang pujaan hati telah resmi menjadi imamnya.

 
Lazimnya seorang pengantin perempuan yang selalu mendapatkan ciuman pertama di kening saat selesai melaksanakan akad nikah, itu tak diberlakukan Hanif kepada istrinya. Perempuan bergaun pengantin berwarna senada dengan pasangannya hanya mampu mengulum senyum. Mungkin Mas Hanif malu, begitu pikirnya.

 
Setelah prosesi ijab kabul usai, segenap tamu undangan, pun dipersilakan untuk menyantap hidangan yang telah disediakan oleh team catering dari wedding organizer yang disewa oleh keluarga pengantin. Sementara di pelaminan, sepasang pengantin itu tengah berfoto bersama dengan keluarga besar keduanya. Yuna terlihat sangat bahagia. Mereka bersukacita merayakan hari pernikahan Hanif dan Yuna. Ini pengalaman pertama keluarga menggelar pesta pernikahan, karena Yuna merupakan putri pertama mereka. Itulah sebabnya pesta pernikahan ini digelar dengan begitu mewah. Menyewa gedung megah, dengan jasa wedding organizer yang terkenal di kota mereka.

 
"Kak, nggak usah canggung, dong! Kan, udah halal!" goda Vita kepada kakak iparnya, Hanif. Vita meraih tangan Hanif dan mengaitkannya dengan tangan Yuna. Lelaki itu pun menurut saja.

 
Sejak tadi Vita memang sibuk mengajak Yuna dan Hanif berfoto bersama. Namun, rasanya sungguh aneh baginya. Dia tidak melihat senyuman terbit di wajah sang kakak ipar.
"Senyum dong, Kak! Biar fotonya bagus."

 
Hanif menarik sudut bibirnya dengan terpaksa. Matanya menatap sejuruh dengan mata istrinya. Sementara dari arah samping sang fotografer mencoba mengambil gambar mereka. Beberapa gaya pun diarahkan oleh Vita. Gadis berusia sembilan belas tahun itu memang sangat menyukai dunia fotography. Dan pernikahan sang kakak seperti dijadikan sebuah ajang kesempatan untuk mengasah bakatnya. Padahal, di pelaminan itu ada hati yang sedang merasa sangat tersakiti. Hati yang dipaksa untuk menerima kehadiran perempuan yang sama sekali tak pernah ia harapkan untuk menjadi istrinya.

 

***


"Kamu kan, udah lama kenal sama Yuna! Nggak ada salahnya kalo kamu menjalin hubungan yang lebih serius lagi," ucap Bu Rahmi, ibunya Hanif yang sangat mendukung hubungan putranya dengan Yuna.

 
"Ibu apaan, sih? Aku belum siap, Bu!" jawab Hanif seraya melepas sepatunya yang kemudian meletakkannya di rak.

 
"Kenapa? Yuna gadis yang baik. Ibu suka sama dia!"

 
"Aku masih belum yakin, Bu!" jawab Hanif seraya menatap dalam wajah sang ibu.

 
Bu Rahmi tersenyum. Perempuan paruh baya itu tahu betul apa yang sebenarnya dirasakan oleh putra ketiganya. Sejenak ia menghela napas panjang. Sementara Hanif justru kembali sibuk membuka laptopnya, ada pekerjaan kantor yang dibawa pulang dan harus ia selesaikan.
"Kalo persoalannya cuma karena belum cinta, itu bisa tumbuh dengan sendirinya ketika kalian sudah menikah dan tinggal bersama!" ucap Bu Rahmi sedikit membuat Hanif terkejut hingga menghentikan aktivitasnya.

 
"Delapan tahun, Bu. Delapan tahun aku mencoba buat mengenal Yuna. Bahkan, sampai detik ini aku masih terus untuk mencobanya!" ucap Hanif lirih.

 
"Kalo kamu nggak mau menjadikannya istri? Kenapa nggak kamu jauhi dia dari dulu?" gertak Bu Rahmi lalu pergi meninggalkan Hanif yang tercengang atas ucapannya.

 
Hanif hanya mampu menatap punggung ibunya yang secara perlahan menghilang di balik pintu kamarnya. Lelaki itu seakan tak mampu memberikan alasan yang tepat untuk orang yang paling dihormatinya dalam hidup. Bu Rahmi memang sangat menyukai Yuna. Gadis berusia dua puluh lima tahun itu mampu mengambil hati ibunya dengan pintar. Sementara Hanif seakan tak kuasa jika harus menolak keinginan wanita yang telah melahirkannya.

 
***

 
Pendar lampu pelaminan terlihat begitu indah. Seindah senyuman Yuna yang terus mengembang di pipinya yang tirus. Sesekali ia mencuri pandang kepada suaminya. Lelaki itu sepertinya lebih memilih untuk tersenyum kepada para tamu undangan ketimbang melempar senyum kepadanya. Mas Hanif kenapa, sih? Kok kelihatannya dia enggak bahagia, ya? batin Yuna seraya terus menatap wajah lelaki di sampingnya yang terlihat sesekali tersenyum dan seketika memudar dengan cepat.


"Selamat ya, Sob! Akhirnya lu sold out juga," ucap seorang pemuda bernama Yudi yang menghampiri Hanif lalu memeluknya. Mereka terlihat sangat akrab sekali.


"Thanks ya, Bro!" sahut Hanif seraya mengembangkan senyum tipisnya.


"Gue nggak nyangka kalo kalian bakalan berjodoh begini!" ujar Yudi.


"Bukan Yuna namanya, kalo nggak bisa ngedapetin hatinya Hanif Akbar!" ucap Yuna dengan penuh rasa percaya diri. Sementara Hanif dan Yudi hanya mampu mengulum senyum.

Malam semakin kelam. Segenap tamu undangan telah meninggalkan gedung tempat pesta pernikahan Hanif dan Yuna digelar. Begitupula dengan keluarga besar si pengantin pria, mereka meninggalkan Hanif sendiri. Ya, sendiri. Berada di tengah keluarga barunya, itu tak serta merta membuat Hanif bahagia. Dirinya benar-benar merasa sendiri. Perasaannya yang telah hancur, kini semakin merasa tercabik-cabik. Hatinya sakit, sakit atas keputusan yang diambil secara sepihak oleh sang ibu. Berbeda dengan Yuna. Meskipun hati dan pikirannya penuh dengan tanda tanya besar mengenai sikap suaminya, tetapi ada rasa lega tersendiri karena kini ia dapat memiliki suami yang ia harapkan selama ini.

Pak Heru meminta Hanif untuk menyetir mobil mereka. Dengan berat hati, Hanif tak dapat menolak titah ayah mertuanya. Yuna duduk tepat di sampingnya. Kepalanya bergelayut di lengan kiri Hanif. Meski risih, pemuda berkulit bersih itu hanya diam saja. Ia berupaya menjaga nama baik keluarganya di hadapan kedua orang tua Yuna. Kendaraan roda empat itu melaju dengan pesat. Sampai di sebuah ertigaan jalan cabang, Hanif mengambil ke aah sebelah kiri. Rumah orang tua Yuna berada di sebuah kawasan pelajar. Satu kilometer setelah pertigaan, ada sebuah jalan kecil yang menghubungkan antara kota dengan kecamatan terdekat. Hanif mengikuti jalan itu. Hingga akhirnya mereka tiba di sebuah rumah berlantai dua yang berdiri kokoh di antara beberapa rumah lainnya yang lebih rendah.

Kota Metro, sebuah kota kecil yang terletak di tengah-tengah Propinsi Lampung, dan terletak di pertengahan antara kabupaten Lampung Timur, Lampung Tengah, dan ibu kota propinsi kota Bandar Lampung. Di sanalah keuarga Yuna bermukim. Suasana malam cukup tenang dibandingkan dengan kota besar. Mereka masih dapat menikmati tidur malam tanpa kebisingan suasana kota. Seperti malam yang dilalui Hanif untuk ertama kalinya berada di dalam rumah keluarga barunya. Pria yag sudah resmi menyandang status sebagai seorang suami itu bergegas mengikuti Yuna masuk ke dalam kamar. Sesuai dengan kesepakatan antar kedua belah pihak keluarga mereka, bahwa setelah prosesi akad nikah pasangan pengantin baru itu akan tinggal selama beberapa hari di rumah orang tua Yuna.

"Maaf, ya, kamarku berantakan!" ucap Yuna setelah memasuki kamar. Perempuan berusia dua puluh tujuh tahun itu segera meletakkan tasnya ke dalam lemari, lalu pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Sementara pria yang berdiiri di sampingnya masih tetap terdiam seperti tak menggubris ucapan istrinya.

Sekat CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang