Tiga belas

45 3 0
                                    



Satu loyang banana cake Yuna ambil dari dalam lemari pendingin. Tak lupa ia juga menyiapkan piring serta membuat teh untuk kedua mertuanya yang sedang duduk santai menikmati sore di beranda. Yuna memotong kuenya menjadi beberapa bagian. Lalu membawa sepiring kue serta dua mug teh hangat keluar dari dari dapur.

"Yah, diminum teh-nya!" ucap Yuna seraya menyuguhkan hidangannya di meja yang terletak di antara kedua mertuanya.

"Kamu bikin apa beli?" tanya Pak Danu.

"Beli dong, Yah. Aku mana bisa bikin kue kayak begini!"

"Belajar sama Ibumu!" saran Pak Danu. "Dia pinter bikin kue."

Yuna hanya mengulum senyum. Entah mengapa ucapan yang dilontarkan oleh Pak Danu yang bagi orang lain terkesan biasa-biasa saja, tapi tidak bagi Yuna. Semenjak terjadi permasalahan dengan Haning mengenai makanan beli, hati Yuna terlalu sensistive. Walau sebenarnya Pak Danu tak berniat menyindirnya, seolah ketika beliau menanyakan asal kue itu, dan meminta Yuna untuk belajar kepada Bu Rahmi, hal itu seperti sebuah sindiran keras bagi Yuna.

Sebuah kendaraan roda empat memasuki pelataran rumah. Yuna bergegas menghampiri si pengendara. Dengan cepat Yuna meraih tas yang dipegang Hanif. Tubuh Hanif sedikit menjingkat tapi tidak kentara oleh istrinya. Pemuda itu tercengang atas penampilan Yuna sore ini. Gadis itu tak terlihat seperti biasanya. Wajahnya terlihat berseri. Meskipun begitu, Hanif kecewa karena sang istri melupakan hijabnya.

"Harusnya kamu nggak lepas jilbab!" ujar Hanif setelah memasuki kamar, sementara Yuna mengekor di belakangnya.

"Kenapa?"

Hanif yang sedang melepaskan sepatu, segera menghentikan aktivitasnya dan mentap tajam kepada sosok perempuan yang masih terpaku di depannya. "Kamu istriku. Seharusnya kamu nggak memperlihatkan auratmu ke orang lain!"

Yuna tersenyum kecut. Meletakkan tas Hanif di meja kerja. Sepasang mata Hanif mengekorinya. "Kalo kamu berhak melarangku, kenapa aku nggak bisa mendapatkan hak-ku?" tanyanya kemudian.

Hanif terdiam. Rasa bersalahnya semakin membesar. Namun, ia belum sanggup untuk menunaikan kewajibannya yang satu itu. Yuna hendak meninggalkan Hanif. Jika ia terus berada di sana, moodnya untuk menikmati banana cake akan musnah. "Kamu mandi aja dulu! Abis itu kita ngobrol di belakang. Aku udah siapin cake buat kamu," ucapnya lalu pergi.

***

Suasana malam minggu yang cukup hening. Bukan untuk orang-orang di rumah. Tapi untuk Hanif dan Yuna. Keduanya menikmati makan malam berdua di ruang makan dekat dapur. Yuna memotong kecil-kecil cake bagiannya. Sementara Hanif hanya memotongnya ketika akan menyuap.

"Na, maaf, ya." Hanif mencoba membuka obrolan. "Aku tau kamu tersiksa sama pernikahan ini."

Yuna meletakkan sendoknya. Entah kata maaf ke berapa kali yang ia dengar dari mulut suaminya. Rasanya Yuna sudah lupa. Terlalu sering Hanif meminta maaf tanpa berusaha memperbaiki hubungan mereka. Gadis itu berusaha untuk menahan amarahnya. Bersikap biasa saja adalah hal yang tepat menurutnya. "Aku tau kok, Mas. Aku memang ngerasain gimana sulitnya ngebuka hati kamu. Tapi ... seperti yang pernah aku bilang, aku nggak akan pernah menyerah."

"Tapi mau sampai kapan kamu bakalan bertahan dengan seperti ini?" Tingkat emosi Hanif mulai meningkat. "Ini Cuma menyiksa kita, Na. Terutama kamu!" kata Hanif sedikit menekan.

Mata Yuna mulai merembes. Namun, bibirnya tersenyum kelu. Ada kesedihan yang diiringi tawa kecil darinya. "Aku nggak akan menyerah!" tegasnya lagi. "Aku emang tersiksa. Tapi kamu tau kan, gimana perjuangan aku untuk bisa menikah sama kamu? Nggak mudah, Mas!"

***

Pemuda berkemeja garis-garis masih sibuk dengan berbenah diri. Lelahnya setelah seharian bertarung dengan debu jalanan demi mendapatkan pekerjaan yang diinginkannya, membuat Hanif berkeringat dan kotor. Ingin rasanya ia segera memberitahukan kabar gembira bahwa dirinya telah diterima bekerja di sebuah perusahaan konstruksi, tapi niatan itu ia urungkan. Sebaiknya Hanif membersihkan diri dulu, baru setelahnya ia akan berbicara dengan orang tua dan adiknya. Namun, belum sempat Hanif masuk ke kamar mandi, Bu Rahmi sudah terlebih dulu menghampirinya.

"Ibu mau bicara sama kamu!"

"Aku juga mau bicara sama Ibu. Tapi aku mandi dulu ya, Bu!"

"Udah, mandinya nanti aja!" cegah Bu Rahmi. "Ibu mau bicara penting!"

Hanif kembali duduk di tepian ranjangnya. "Emang Ibu mau ngomongin soal apa?"

"Soal Yuna!"

"Ibu kenal sama Yuna?" tanya Hanif heran.

"Tentu aja Ibu kenal. Dia kan, anak temen Ibu!"

"Terus?"

"Ibu udah ada rencana, kami mau ngejodohin kalian."

Tubuh Hanif seketika menegang. Rasanya pemberitahuan dari Bu Rahmi itu bagaikan petir yang sudah menyambarnya. Sungguh tak percaya, jika apa yang telah dialami oleh kedua saudara laki-lakinya kemungkinan besar akan terjadi pula di masa depannya.

"Tapi aku nggak cinta sama dia, Bu!"

"Pasti karena Mia!" tukas Bu Rahmi.

Hanif tercekat. Ibunya bahkan bisa menyebutkan nama Mia. "Ibu juga tau sama Mia?"

"Ibu nggak tau siapa perempuan bernama Mia itu. Tapi, Ibu juga nggak pengen tau siapa gadis itu. Bagi Ibu ... Yuna satu-satunya gadis yang paling tepat buat kamu!"

Hanif menghela napas panjang. Ingin sekali ia menjelaskan bagaimana sosok Mia. Namun, setelah melihat reaksi serta mendengar ucapan ibunya, rasanya percuma. Akan lebih baik jika suatu saat nanti ia mempertemukan keduanya.

"Tadi siang Yuna dateng ke sini. Dia sopan banget. Dia bawain sop buntut kesukaan Ayah kamu!" Bu Rahmi terlihat sangat bersemangat menceritakan perihal kedatangan Yuna. Binar matanya terasa hangat. Namun, hal itu cukup menegaskan bagaimana Yuna dapat dengan mudah mengambil hatinya. Hanif merasa semakin takut. Takut ibunya benar-benar tak akan menyetujui keinginannya bersanding hidup dengan Mia.

***

Yuna kembali menimati kuenya. Sedangkan Hanif masih terpaku menatapnya. Bayangan masalalu masih terus menghinggapi benaknya. Bagaimana cara Yuna mempermainkan lidahnya dan mengiba kepada sang ibu, masih dapat ia ingat semuanya. Termasuk caranya memengaruhi Bu Rahmi agar tak menerima Mia.

"Kenapa dulu kamu tega memfitnah Mia?"

Yuna tercekat. Ia kembali menghentikan aktivitasnya. "Aku nggak pernah fitnah Mia!" sahutnya kemudian.

"Kamu bohong!" tukas Hanif. "Aku yakin kamu udah ngomong yang nggak-nggak tentang Mia ke Ibu!" Kali ini nada bicara Hanif meninggi. Emosinya tersulut lantaran Yuna tak mengakui tuduhannya. "Kalo kamu nggak ngomong apa-apa ke Ibu, dari mana Ibu tau tentang Mia dan keluarganya?"

Yuna terdiam. Sebegitu cintakah Hanif kepada Mia? Hingga telah resmi menjadi suaminya, Hanif masih sanggup membela perempuan lain yang jelas bukan jodohnya. Darah Yuna mendidih, benaknya naik pitam. "Terserah kamu mau menuduhku seperti apa pun, aku sama sekali nggak peduli! Tapi satu hal yang harus kamu tau, Mas. Aku nggak suka kamu membahas Mia di depanku."

Sorot mata Yuna menyiratkan amarah yang besar. Tanpa menunggu jawaban dari Hanif, gadis berpiyama biru itu lekas meninggalkan obrolan. Dirinya memilih untuk masuk ke dalam kamar. Menangis sejadi-jadinya, tanpa peduli didengar oleh mertua dan saudari iparnya. Sementara Hanif yang turut emosi atas sikap Yuna, memilih untuk keluar dari rumah.

Sekat CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang