"Maaf ya, Na. Aku pikir kalian berdua udah hidup bahagia dengan pernikahan yang kalian jalani. Kalo aja aku tau cara berpikirku udah bikin kamu terluka dan kecewa, aku pasti nggak akan balas pesan dari Kak Hanif." Mia teramat menyesali perbuatannya. Mencoba memosisikan dirinya sebagai Yuna. Gadis itu tidak salah jika memiliki kecemburuan yang lebih. "Aku janji, aku nggak akan menjalin komunikasi lagi sama suamimu, walau itu Cuma sebatas teman biasa."
"Nggak, Mi! Kamu nggak perlu ngelakuin itu," cegah Yuna.
"Kenapa?"
"Asal kamu tau aja, beberapa bulan menjalani pernikahan tanpa cinta, aku sama sekali nggak pernah melihat senyum di wajah Mas Hanif. Dan baru semalem aku lihat itu, waktu kalian berbalas pesan." Sakit sekali rasanya ketika Yuna harus menceritakan hal itu. Tak seharusnya ia membuka aib dalam rumah tangga yang dijalani dengan kelukaan.
Sungguh miris hati Mia menyimak cerita Yuna. Terlebih Yuna juga mengatakan bahwa suaminya enggan tidur bersamanya apalagi menjamahnya. Seketika ia dapat merasakan getirnya rumah tangga sepasang suami istri yang pernah dekat dengannya. Andai saja Hanif berada di tempat yang sama dengan mereka, ingin rasanya Mia memarahinya.
Air mata Yuna meleleh begitu banyak. Mia membiarkan sungai kecil itu mengalir deras. Pasti rasanya sangat sakit, melebihi perasaannya yang pernah ditolak oleh Bu Rahmi, begitu pikirnya. Mia mengusap punggung tangan Yuna lembut, mencoba memberikannya kekuatan. Gadis itu membutuh dukungannya.
"Apa orang tuamu tau tentang hal ini?"
Yuna menggeleng lemah. "Aku takut, Mi!"
"Sebaiknya jangan!" saran Mia. "Islam mengajarkan wanita untuk taat pada suaminya. Dan kamu pasti sering denger kan, kalo anak laki-laki itu milik ibunya. Itu sebabnya, dulu aku lebih memilih untuk nggak mengharapkan Kak Hanif lagi. Karena aku tau, dalam pernikahan harus ada doa restu dari orang tua." Sejenak Mia terdiam seraya menatap wajah Yuna. Perlahan tangan Mia beralih mengusap buliran air yang membasahi pipi Yuna. "Pernikahan kalian itu sedikit lagi sempurna. Kamu Cuma butuh cara untuk menumbuhkan perasaan cinta di hati suamimu!" ujarnya kemudian.
"Udah, Mi. Aku udah coba! Tapi nggak ada ngaruhnya sama sekali!"
"Bukan nggak ada! Tapi belum," sanggah Mia. "Lakukan semuanya semata-mata untuk ibadah kepada Allah."
"Ibadah?"
Mia mengangguk. "Lakukan hal yang disukai sama Kak Hanif!" titahnya. "Maaf, biarpun aku nggak pernah menjalin hubungan yang serius sama beliau, tapi sedikitnya aku paham. Dia suka dengan kesederhanaan dan perhatian-perhatian kecil."
Yuna sosok manusia yang tak begitu banyak pemahamannya mengenai Islam. Jika dibandingkan dengan Mia, dirinya memang tidak lebih pandai dalam hal agama. Inisiatifnya untuk bertemu dengan Mia adalah benar. Jika semula dia hanya sekadar ingin mengetahui maksud dan tujuan Mia berbalas pesan dengan suaminya, berubah tanpa disengaja. Mungkin dirinya salah, dan Mia memang menyalahkannya. Namun, gadis yang hanya lulusan SMA itu dapat memakluminya. Kisah rumah tangganya tak semestinya ia ceritakan kepada gadis yang pernah dekat dengan masalalu Hanif.
"Setelah kamu ceritakan semuanya ke aku. Jangan pernah kamu ceritakan masalahmu lagi ke orang lain, termasuk ke orang tuamu. Karena itu bakalan nyakitin perasaan mereka."
"Tapi aku sering merasa sendirian, Mi!"
"Ada Allah yang akan membantumu menyelesaikan setiap masalah yang kamu hadapi." Mia mencoba meyakinkan Yuna. "Kalo emang kamu butuh curhat tentang Kak Hanif, kamu bisa curhat ke Ayah mertuamu. Minta pendapat beliau!"
"Maksudmu Ayahnya Mas Hanif?"
Mia mengangguk. "Kamu Cuma bisa menceritakan itu ke beliau, dan itu nggak ada dosanya. Aku yakin Ayahnya Kak Hanif pasti mau nasehati anaknya."
Yuna merasa sangat lega. Obrolan panjangnya dengan Mia seperti membawa angin segar untuknya. Kini, dirinya paham mengapa Hanif sangat menyukai gadis itu. Mia benar-benar sosok yang sangat berbeda, mempertimbangkan segala sesuatunya dengan sangat matang, meski sakit yang harus ia rasakan.
"Satu pesanku, jangan pernah berharap sama manusia. Tapi berharaplah sama Allah!" pinta Mia sebelum keduanya mengakhiri perjumpaan mereka.
***
Semesta bertasbih dengan desiran anginnya yang perlahan meniupkan dedaunan di kala senja. Keeksotisan langit sore diselimuti gradasi warna jingga dan nila seolah mewakili perasaan Yuna. Gadis berjilbab cokelat itu tak perlu menunggu waktu lama untuk mengikuti saran dari Mia. Sesampainya di rumah, tanpa mengganti pakaiannya terlebih dahulu, ia bergegas pergi ke dapur. Kata orang, cinta tak selalu datang dari mata, tapi bisa juga dari perut.
Sebelum dirinya memutuskan untuk pulang, terlebih dahulu ia pergi berbelanja kebutuhan dapur. Beberapa bahan pangan sudah tersedia di meja dapur. Sejenak Yuna membuka handphonenya. Beberapa resep masakan ia baca. Tanpa perlu waktu lama, akhirnya Yuna menemukan resep masakan yang cukup spesial menurutnya. Kedua tangannya begitu terampil dan cekatan. Sesekali ia menyeka peluh di keningnya. Untuk pertama kalinya Yuna memasak makanan dengan jumlah lumayan beraneka. Harapannya untuk bisa mendapatkan kasih sayang dan cinta dari suaminya masih menggebu. Terlebih kini Mia juga sangat mendukungnya. Kalimat terima kasih seolah tak mampu mewakili untuk sekadar diucapkan. Melainkan kalimat terima kasih harus ia tunjukkan kepada Mia, bahwa dirinya mampu seperti yang Mia harapkan.
***
"Wah ... kelihatannya enak, nih!" seru Haning seraya menarik kursi dari kolong meja makan.
Semua anggota keluarga sudah berkumpul untuk makan bersama. Tak terkecuali Hanif. Yuna sengaja meminta semuanya untuk bisa makan bersama. Pak Danu, Bu Rahmi, Haning, mereka begitu menikmati jamuan dari sang menantu. Sedangkan Hanif, pemuda itu justru terdiam dan heran. Sepasang matanya terus memperhatikan sang istri yang terlihat sibuk melayaninya juga keluarganya.
"Nah, gitu dong, Mbak! Kalo mau berusaha gini, pasti Mas Hanif juga happy? Iya kan, Mas?" ujar Haning beralih ke Haning.
Sementara Hanif justru masih fokus kepada Yuna. Sehingga ia tak memperhatikan jika Haning tengah mengajaknya berbicara. "Mas!" seru Haning.
"Eh iya, Dik, apa?"
"Ampun deh! Baru juga aku memuji Mbak Yuna, dianya udah nggak fokus."
"Biasalah, Ning. Mas-mu ini kayaknya lagi jatuh cinta," ejek Bu Rahmi.
"Apaan sih, Bu!" Hanif mengembuskan napas kasar, merasa tak terima.
"Kamu, mau yang mana, Mas? Biar aku ambilin," tawar Yuna.
"Terserah kamu aja. Apa pun aku makan, kok."
Seusai makan, semua anggota kelurga memuji hasil masakan Yuna. Haning dan Bu Rahmi merasa cukup puas bisa melihat sedikit perubahan dari Yuna. Bagi mereka, ini adalah permulaan yang baik karena Yuna mau berusaha menunjukkan perannya sebagai seorang istri. Namun, ada hal yang masih sangat mencemaskan bagi Yuna. Meskipun Hanif mengaku senang, tapi ia belum melihat senyuman terbit untuknya. Mungkin benar apa yang dikatakan Mia, untuk tidak berharap kepada manusia. Setidaknya biarkan Allah yang bekerja dengan cara-Nya. Yuna meyakini, cepat atau lambat Hanif akan membuka hati untuknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekat Cinta
RomancePernikahan yang menjadi dambaan Yuna ternyata tak semanis impiannya. Hanif sulit menerimanya sebagai seorang istri lantaran sebuah kesalahan fatal yang pernah ia perbuat. Yuna yang egois harus bersabar untuk mendapatkan cinta suaminya. Mampukah ia b...