Tujuh belas

46 4 0
                                    

Bagi setiap orang masalalu kelam tentu sangat mengganggu. Demikian pula dengan Mia. Tak mudah baginya menata masa depan seperti saat ini. Butuh waktu bertahun-tahun untuk bisa melupakan semua permasalahannya dengan Hanif dan Yuna. Bukan hanya satu masalah saja pernah terjadi di antara keduanya. Kesalahan Yuna bukan hanya sebatas ia menjadi penghalang kisah cinta Hanif dan Mia. Dulu, istri Hanif itu pernah mencemarkan nama baiknya. Yuna menuduh Mia telah menyebarkan gosip yang tak benar mengenai dirinya. Tujuannya agar Hanif percaya dan membenci gadis polos nan sederhana itu. Padahal, jangankan untuk menceritakan permasalahannya dengan Yuna kepada teman-temannya, untuk curhat mengenai hubungannya dengan Hanif, pun tak pernah ia lakukan. Mia sosok yang introvert.

Sesak seketika melanda dadanya kembali seiring ingatannya yang kembali mengenang masa-masa sakitnya setelah mengalami penolakan dari Bu Rahmi. Ya, sangat sakit sekali. Mia harus belajar terbiasa tak mendengar suara Hanif dan segala bentuk pesan via Short Message Service-nya. Mia sengaja mengganti nomor ponselnya, agar pemuda itu tak menghubunginya lagi. Beberapa waktu semangatnya berkurang, dan untuk mengembalikannya orang tuanya-lah yang berjuang menghiburnya. Sejak saat itu, ia bulatkan tekadnya untuk melupakan Hanif, dan membuka lembaran baru. Dalam keterbatasan ekonomi keluarga, Mia berusaha berdiri. Semua bentuk hinaan halus yang didapatkan dari Bu Rahmi, ia jadikan cambuk untuk berusaha menjadi muslimah yang sukses meski tanpa harus bersekolah tinggi. Kini ia memiliki usaha menjahit pakaian. Alhamdulillah, pelan tapi pasti usahanya berkembang dengan pesat. 

"Dulu ... terlalu banyak kesalahan yang pernah aku lakuin ke kamu, Mi!"

Mia menarik napas pelan. Disesapnya minuman dingin yang sudah ia pesan. Rasanya sungguh segar sampai di tenggorakan. Yuna masih menatapnya lembut. Mengharapkan jawaban darinya. Sedangkan gadis berjilbab warna ungu itu masih tak memberikan respons apa pun. Justru terkesan lebih diam.

"Apa kemarahanmu itu masih ada ya, Mi?" Yuna merasa mulai tak sabar menghadapi sikap datar Mia.

"Bisa nggak, kita nggak bahas soal masalalu?" tanya Mia balik.

"Kenapa?"

Mia menarik tubuhnya ke belakang. Mencoba untuk lebih santai menikmati obrolan dengan Yuna. "Kalo kita udah bahagia dengan masa sekarang, kenapa kita mesti mengingat masalalu yang pahit?"

Kini, gantian Yuna yang terdiam. Kalimat yang baru saja dilontarkan oleh Mia seolah sedang memberikannya sebuah peringatan, jika apa yang pernah diperbuatnya menyisakan luka dalam bagi gadis di masalalu suaminya. Mungkinkah Mia benar-benar sudah dapat melupakan Hanif? Jika iya, mengapa perbincangan mereka seolah menyiratkan gadis di hadapannya itu masih menyimpan rasa terhadap sang suami? Dua pertanyaan itu kini bersarang dalam benaknya.

"Kamu yakin, kalo kamu udah bahagia?" tanya Yuna kemudian.

"Seperti yang kamu lihat, Alhamdulillah aku bahagia sama kondisiku saat ini."

"Walau kamu nggak menikah sama Mas Hanif?"

Mia sedikit tercekat, tapi tidak kentara. Ia justru tersenyum manis terhadap Yuna. "Pertanyaan macam apa itu?" Lagi-lagi dirinya terkesan santai menyikapi Yuna.

"Mas Hanif belum bisa ngelupain kamu, Mi!"

"Dari mana kamu tau soal itu?"

"Aku ini istrinya. Udah pasti aku tau dari sikapnya ke aku, juga cara dia berkomunikasi sama kamu, Mi."

Mia membalas tatapan Yuna. Tersirat sebuah kesedihan di sana. Hatinya merasa tak kuasa menahan iba. Betapa ia sangat mengetahui apa yang Yuna rasakan. Dirinya paham betul bagaimana sifat Hanif yang lembut, tapi keras. Hanif sangat menghargai seorang wanita. Namun, tak menutup kemungkinan pemuda itu juga bisa berlaku dingin terhadap wanita yang tak mampu menjaga harga dirinya.

Sekat CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang