Dua puluh satu

54 3 5
                                    

"Na, tolong nanti pakaian basah punya Haning dan Ibu dijemur, ya!" titah Bu Rahmi dari ambang pintu tengah dekat ruang makan. "Ibu sama Ayah mau pergi ke Karang. Kamu jaga rumah!" imbuhnya.

"Emangnya Haning ke mana, Bu?" Biasanya semua pakaian milik mertuanya diurus oleh si adik ipar.

"Haning ada shift pagi. Jadi dia nggak sempat buat cuci baju. Terus Ibu deh, yang cuci bajunya."

Terdengar aneh bukan? Haning tidak sempat mencuci pakaiannya. Ya itu lantaran cara kerja dalam keluarga besar Pak Danu masih dengan cara manual. Mereka tidak mengenal mesin cuci. Bagi mereka mencuci dengan mesin justru belum menjamin kebersihannya. Bahkan, jika ingin memastikan bersih, harus kerja dua kali yaitu, sebelum digiling dengan mesin mesti dikucek terlebih dahulu dengan tangan. Repot bukan?

Yuna manggut-manggut. "Ya udah, biar nanti aku yang jemur," sahutnya lalu beralih mematikan kompor lantaran air panasnya sudah mendidih.

"O ya, hari ini kamu ada kegiatan apa?"

"Nggak ada sih, Bu. Sekolah lagi libur semester. Palingan juga nanti mau setrikain baju-baju. Terus ... nanti sore pengen ke rumah Mama."

"Nah, kebetulan banget. Sekalian pakaian punya Ibu sama Ayah juga ya!"

Yuna menyeringai. "Eh iya, Bu!" sahutnya sedikit berat.

Bu Rahmi lekas pergi. Sementara Yuna justru menghela napas cukup kencang. Sepertinya hari ini ia akan memiliki kegiatan yang lumayan melelahkan.

***

Suara klakson dari puluhan kendaraan yang terjebak macet mewarnai Jalan Raya Sumatera yang menghubungkan Kabupaten Pesawaran dengan Kabuaten Lampung Selatan. Pak Danu dan istrinya terjebak dalam kemacetan. Banyak beberapa kendaraan roda dua yang menyalip dari sebelah kiri kendaraan mereka, memilih melintasi bahu jalan demi bisa segera keluar dari kemacetan tersebut. Suasana sore hari cukup ramai. Kebanyakan dari mereka adalah para pekerja di kota yang akan kembali ke desa masing-masing.

"Coba aja tadi Ayah mau diajak pulang dari masih agak siangan, pasti kita nggak bakalan kejebak macet kayak gini!" gerutu Bu Rahmi.

"Udahlah nggak usah ngomel. Lagian sekali-kali kita menikmati suasana yang kayak gini, Bu. Biar berasa kayak lagi di Jakarta."

"Ayah ini suka nyeleneh deh, ngomongnya."

"Nggak gitu juga sih, Bu. Tadi Ayah tuh seneng bisa ketemu sama Mas Sastro dan keluarganya. Apalagi pas liat si Mirna, anaknya Mas Sastro yang menikah tempo hari, kelihatannya dia bahagia banget sama suaminya." Pak Danu sangat antusias bercerita perihal kerabat jauhnya dari Kotabumi yang siang tadi sempat bertemu di acara hajat salah satu keluarga mereka yang ada di kota Bandar Lampung. "Kalo nggak salah ... Mirna itu nikahnya sesudah Hanif kan, Bu?"

"Iya, Yah."

"Coba aja ... rumah tangga Hanif itu bisa kayak rumah tangganya Mirna, InsyaaAllah kita bisa cepet punya cucu!" ujar Pak Danu yang sangat menyesalkan kondisi rumah tangga putranya.

Bu Rahmi mendengus. Sorot matanya tajam ke arah depan. Sesak seketika melanda rongga dadanya. Kalimat sederhana yang terlontar dari pria paruh baya di sampingnya seolah baru saja menyayat luka lama di hatinya. Bentuk protes suami dan putri bungsunya atas perjodohan yang ia lakukan terhadap Hanif dan Yuna, seperti sebuah lecutan yang tak mungkin pernah dapat ia lupakan rasa sakitnya. "Apa Ayah pikir, walau Hanif nggak menikah sama Yuna, kondisi rumah tangganya bakalan baik-baik aja?" tanya Bu Rahmi sebaliknya. "Kita juga nggak bisa mastiin itu kan, Yah?"

Pak Danu terhenyak. Ia dapat memahami arah pembicaraan istrinya. Wanita yang sudah mendampinginya selama hampir empat puluh tahun itu rupanya telah tersinggung atas ucapannya. "Ibu jangan salah paham! Ayah nggak mempermasalahkan soal perjodohan itu, kok! Ayah Cuma lagi berandai-andai, kalo aja Hanif dan Yuna itu bener-bener saling menyayangi, pasti mereka juga nggak kalah bahagianya sama Mirna."

Sekat CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang