"Kal, apa gue masih bisa merubah ketentuan Allah yang sudah ditetapkan-Nya buat gue?"
Selepas salat Jumat berjama'ah di masjid Taqwa, yang terletak di pusat kota Metro, Hanif dan Haikal memutuskan untuk duduk bersama di serambi masjid. Siang itu Hanif sengaja mengajak Haikal untuk bertemu di sana. Selain tempatnya yang terletak di tengah jaraknya antara rumah Hanif dan Haikal, tempat itu juga cukup enak untuk berdiskusi mengenai persoalan hidup yang berkaitan langsung dengan Sang Pencipta.
Haikal tersenyum menatap sahabatnya. Pemuda berkulit putih itu tak mengira jika Hanif masih belum puas berbagi cerita dengannya. "Ketentuan Allah itu ada yang sifatnya paten, tapi ada juga yang sifatnya kondisional."
"Kalo perkara jodoh ... paten atau kondisional?"
Haikal bekernyit. "Tergantung," sahutnya singkat.
"Maksud lo?" Hanif bingung.
"Manusia itu punya banyak pilihan. Termasuk soal jodoh. Tapi, kalo jodoh itu udah masuk ke dalam Qada yang menjadi Qadar yang udah terjadi, artinya jodoh itulah yang udah jadi takdir kita."
"Terus, gimana caranya kita bisa tahu kalo dia jodoh dalam Qadar kita apa bukan?"
"Yang pernah gue denger dari guru di pesantren, dan gue juga ngerasain hal yang dibilang beliau, jodoh itu akan selalu tampil di depan kita apa adanya. Nggak terkesan mengada-ada, apalagi kayak merasa terpaksa. Jodoh juga akan membawa rasa nyaman buat diri kita saat kita lagi bareng sama dia."
Hanif tertegun mendengarkan jawaban dari Haikal. Mungkinkah ia dan Yuna benar-benar berjodoh? Atau justru kebalikannya. Ah, rasanya setiap kali Hanif bersama Yuna, yang ada hanya bayangan masa lalu menyakitkan. Semua ingatannya akan beralih kepada cara licik Yuna untuk mendapatkannya.
***
Seminggu kemudian.
"Bu, pernikahan aku sama Yuna terjadi karena kemauan Ibu. Jadi, aku mau minta restu dari Ibu. Semoga keputusanku ini nggak salah, ya, Bu!"
"Iya, Nif. Ibu harap hubungan kamu sama Yuna bisa jadi lebih baik lagi. Sampein juga permintaan maaf ibu ke Yuna dan keluarganya."
Setelah berhari-hari berpikir panjang, menelaah setiap nasihat yang didapat dari keluarga dan sahabatnya, akhirnya Hanif mampu menentukan sikap yang menurutnya harus ia terapkan demi menjalin hubungan yang baik dengan Yuna.
"Semoga kamu sama Yuna bisa menemukan kebahagiaan ya, Nif," tutur Pak Danu penuh harap.
Hanif menjumput pisang goreng yang disajikan oleh ibunya. Kali ini ia merasa tangannya kepanasan dan ia pun meringis kesakitan sambil meniup ujung jarinya sendiri.
"Kemaren aja ngebilangin aku nggak hati-hati, ternyata dia juga sama aja!" ejek Haning yang sejak tadi sudah duduk di ruang makan, menikmati sarapannya.
"Mas, kan, nggak tahu kalo pisangnya panas!" gerutu Hanif. "Ya udah, deh, Yah, Bu, aku berangkat dulu, ya!" Hanif mencium punggung tangan kedua orang tuanya dengan ta'zhim.
"Kamu nggak sarapan dulu?" tanya Bu Rahmi.
"Nanti aja, deh, kalo urusanku udah selesai. Nggak bagus, kan, menunda sesuatu yang baik!" jawab Hanif seraya menyungingkan senyum. "Assalamu'alaikum," ucapnya kemudian lalu pergi.
"Wa'alaikumussalam."
Bu Rahmi menatap kepergian Hanif hingga punggung pemuda itu lenyap dari pandangannya. Ada rasa lega dalam sekejap menyerang hatinya. Tentu karena ia kembali dapat melihat senyuman manis seorang Hanif Akbar yang selama beberapa bulan terakhir sempat hilang dari pandangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekat Cinta
RomancePernikahan yang menjadi dambaan Yuna ternyata tak semanis impiannya. Hanif sulit menerimanya sebagai seorang istri lantaran sebuah kesalahan fatal yang pernah ia perbuat. Yuna yang egois harus bersabar untuk mendapatkan cinta suaminya. Mampukah ia b...