Dua puluh tiga

53 8 0
                                    


Suasana hati Yuna masih juga mendung. Setelah mengalami pertentangan antara pikiran dan hatinya, akhirnya Yuna memilih untuk kembali menjalani hari-harinya menjadi seorang istri dari Hanif Akbar. Perasaannya memang sakit, tapi sang mama menginginkannya untuk kembali ke rumah mertuanya.

Bu Rahmi menerimanya dengan hangat. Walau begitu, Yuna masih kurang bersemangat. Hari-harinya dilalui dengan saling membisu antara ia dan Hanif.

"Jangan kamu ambil hati setiap perlakuannya! Kasih dia ruang untuk bisa menerimamu," kata Bu Rahmi yang sejak pagi sudah menemani Yuna di dapur tanpa melakukan apa pun. Perempuan paruh baya itu hanya duduk di kursi makan, padahal sang menantu sibuk dengan urusan dapur.

Yuna yang tengah mengiris bawang, secara spontan menghentikan aktivitasnya. Ia menghela napas cukup dalam. Merasakan sesak yang tak terkira oleh siapapun. Bahkan, ibu mertuanya pun tak menyadari jika ucapannya cukup menohok perasaan Yuna. Rasanya ia tak kurang dalam memberikan ruang untuk suaminya. Hampir empat bulan ia menerima sikap dingin Hanif. Apa itu masih belum cukup? Pertanyaan itu bersarang di benaknya.

Tanpa berkata apa pun, Yuna kembali melanjutkan aktivitasnya. Dia meraih wajan dan spatula, meletakkannya di atas kompor. Lalu ia meraih botol berisi minyak goreng yang disimpan di sudut meja dapur dekat sink. Sedikit ia tuang minyak goreng ke dalam wajan yang mulai panas. Tangannya begitu cekatan. Semua bumbu dan sayuran yang ia siapkan dimasaknya jadi satu. Lagi-lagi ia mengerjakan itu semua tanpa berbicara sedikitpun. Bahkan, seolah ia tak menganggap di sana ada ibu mertuanya.

"Mbak, lihat seragam yang aku jemur di halaman belakang nggak?" tanya Haning seraya melangkah menuju dapur.

"Nggak," sahut Yuna singkat sambil terus mengaduk masakannya.

"Kan, kemarin yang jemur Mbak Yuna!"

Yuna berbalik badan seraya bertolak pinggang. Wajahnya terlihat garang. Tatapannya sangar terhadap Haning. "Kalo aku bilang nggak tahu, ya nggak tahu!" Yuna kembali beralih pada masakannya.

Haning tersulut emosi. Ia mendekat kepada kakak iparnya. "Mbak, aku tanya-nya serius. Aku udah kesiangan mau berangkat kerja."

Yuna mendengus sambil memainkan bola matanya, lalu beralih ke Haning yang sudah berdiri di sisinya. "Bisa nggak, sih, untuk nggak ngerepotin orang lain?" tanyanya kasar.

Haning merasa heran. "Mbak Yuna kenapa, sih?"

Yuna meletakkan spatulanya dengan kasar di atas wajan berisi sayur yang masih panas. Kemudian ia memilih meninggalkan dapur. Ia benar-benar sangat marah. Kali ini tidak dapat menyimpan emosinya. Hal itu menyulut kemarahan Haning. "Sebenernya mau dia apa, sih? Ditanya baik-baik kok jawabnya nyolot!"

Bu Rahmi beranjak bangun. "Udah! Mungkin dia kecapekan."

"Kecapekan sih kecapekan, tapi bisa kan, ngomong yang enak!" Haning merasa kesal. Ia segera pergi. Sementara Bu Rahmi hanya mampu mengelus dada memperhatikan tingkah menantu dan putri bungsunya.

***

Suara pintu terdengar keras di telinga Hanif yang sedang bersiap diri akan berangkat bekerja, hingga membuatnya sedikit menjingkat. "Astagfirullahal'adzim," ucapnya seraya memegangi dadanya yang bergetar dengan seketika. "Apa nggak bisa biasa aja, tutup pintunya?"

Yuna membantingkan tubuhnya dengan kasar ke atas ranjang. Air matanya meleleh dan lekas membasahi benda persegi dengan tekstur lembut dan empuk yang menjadi tumpuan pipinya. "Apa dosaku terlalu besar ya, Mas? Sehingga kamu dan keluargamu menyiksaku kayak gini?"

Hanif tercekat, merasa tersentak atas pertanyaan berujung pernyataan yang disampaikan oleh istrinya. "Apa maksudmu?"

Yuna beranjak duduk. Hanif dapat melihat jelas wajahnya yang bersimbah air mata. "Aku tahu kesalahanku itu terlalu besar di matamu. Aku udah berbuat curang terhadap Mia. Aku terlalu egois. Tapi itu masa lalu!"

Sekat CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang