Jika Tuhan mengtakdirkan setiap manusia mendapatkan jodoh yang sesuai dengan dirinya, maka sudah sesuaikah jodoh yang diterima oleh Hanif? Benak pemuda itu masih terus bertanya-tanya. Sungguh sulit menerima kenyataan yang dijalani. Andai waktu bisa diputar kembali, ingin rasanya ia memperjuangkan Mia, gadis yang diidamkannya menjadi pendamping hidup.
Sebuah notifikasi terdengar dari telepon genggam yang berada di dalam saku celana Hanif. Pemuda yang tengah menemani Mia ke toko buku itu segera membuka pesan masuk dari seseorang. Hanif membacanya, lalu beralih kepada Mia yang sedang mengamati buku-buku di lemari.
"Dari siapa?" tanya Mia seraya terus melangkah pelan dan memfokuskan netranya kepada susunan buku-buku di hadapannya.
"Yuna!" sahut Hanif. "Dia ... dia ngundang kita ke acara ulang tahunnya," imbuhnya sedikit ragu.
"Kapan?"
"Lusa! Pas malem minggu."
Mia menghentikan langkahnya, berbalik ke arah Hanif. "Kamu aja yang dateng!"
Hanif menghela napas panjang, lalu duduk di kursi tempat membaca. "Kan, kita berdua yang diundang! Kenapa aku mesti dateng sendiri, sih?" tanyanya sedikit berdecak. Padahal, tanpa ia bertanya, Hanif sudah tahu apa alasan Mia tidak akan datang di acara ulang tahun Yuna. Gadis berjilbab itu tidak akan mendapatkan izin dari kedua orang tuanya.
Mia mengembalikan buku yang baru saja diambilnya dari lemari ke tempat semula. Kemudian ia duduk berseberangan dengan Hanif. Wajahnya yang cantik semakin terlihat menawan lantaran senyuman tipis mengembang dengan sempurna. "Jangan ngambek!" bujuknya lembut.
"Aku bukannya ngambek, tapi aku nggak suka kamu suruh pergi sendiri ke sana!" Hanif terlihat kesal. Kedua bola matanya sama sekali tak mengarah kepada gadis yang mengenakan setelan celana kulot serta tunik yang dibalut jilbab segiempat.
Mia menghela napas secara perlahan. Dirinya mencoba untuk memberikan pengertian kepada Hanif. Bahwa ia sebenarnya pun ingin sekali berkunjung ke rumah Yuna. Lantaran ia sendiri, pun belum pernah tahu di mana rumah gadis yang menyukai Hanif sejak masih duduk di bangku SMP itu. Namun apalahdaya, acara ulang tahun itu digelar pada malam hari.
"Kalo aja acaranya siang, aku juga pasti akan dateng!" ungkap Mia.
Hanif masih terus terdiam. "Nif!" seru Mia pelan.
Hanif beralih kepada Mia. Gadis itu masih terlihat menarik kedua sudut bibirnya ke atas. "Kamu sama Yuna kan, temen baik banget. Nggak ada salahnya kan, kalo kamu dateng ke pesta ulang tahunnya dan kasih ucapan selamat buat dia. Dia pasti seneng!"
"Tapi aku nggak mau kalo ujung-ujungnya aku bakalan nyakitin kamu, Mi!"
"Kamu salah! Aku sama sekali nggak akan merasa sakit apalagi marah. Aku bukan siapa-siapa kamu!"
"Jadi ... sampe saat ini kamu masih terus menganggapku orang lain?"
"Ya ... Nggak gitu juga, Nif!" Mia nampak bingung. Tatapannya beralih ke arah lain. Hanif dapat melihat dengan jelas bagaimana ekspresi Mia.
"Terus apa?"
"Udah, ya. Seperti apa pun hubungan kita, ini berarti banget buat aku. Dan perlu kamu tau, aku nggak pernah deket sama siapapun, kecuali sama kamu!" jelas Mia.
***
Pendar lampu tumbler menghiasi ruang tamu rumah Yuna. Sekeliling ruangan juga dihiasi dengan balon-balon karakter yang lucu. Sebuah tart tersusun dua lapisan dengan diselimuti butter cream lembut berwarna hijau muda, dan di ujungnya terdapat lilin simbol angka delapan belas sebagai pertanda jika gadis berperawakan mungil itu telah genap berusia delapan belas tahun, terletak di atas meja, tepat di tengah ruangan berbentuk segiempat memanjang. Suasana acara ulang tahun yang cukup meriah. Selain Hanif, Yuna juga mengundang beberapa teman yang lainnya. Riuh suara tepukan tangan mengiringi proses peniupan lilin yang dilakukan oleh Yuna. Tak lupa gadis itupun memotong kue tartnya.
"Kira-kira ... suapan pertamanya buat siapa, ya?" tanya si pemandu acara dengan nada khas candaannya.
Yuna melangkah beberapa meter dari tempatnya menuju ke seorang pemuda yang berdiri di ujung ruangan, tepatnya di samping pintu utama rumahnya.
"Hei! Ini buat kamu!"
Hanif tercekat. Semua mata tertuju kepadanya. Dirinya tak pernah menyangka kalau potongan kue itu akan diberikan kepadanya. Padahal, bukankah biasanya potongan pertama pasti akan diberikan kepada sosok yang paling spesial, seperti orang tua, begitu pikirnya.
"Ini kamu serius, Na?" tanya Hanif yang masih tertegun di tempatnya.
"Tentu aku serius, Kak."
Hanif menerima kue pemberian Yuna dengan sedikit bingung. Sementara si gadis yang tengah berulang tahun itu kembali ke tempatnya semula seraya tersenyum girang. Hatinya sangat bahagia ketika mendapati Hanif datang tanpa Mia.
***
Rangkaian acara pun telah terlewati, kini giliran acara makan bersama. Hanif merasa perutnya telah kenyang lantaran sebelum pergi ke pesta ia telah memberi cacing-cacingnya nasi goreng pedas masakan ibunya. Sehingga ia memilih untuk duduk di halaman sambil berbalas pesan dengan Mia.
Gimana acaranya?
Biasa aja.
Biasa aja gimana maksudnya?
Ya biasa aja, nggak ada yang spesial.
Salam ya, buat Yuna. Sampein maafku juga karena nggak bisa dateng.
Hanif nampak tersenyum menatap layar handphone-nya. Sementara dari kejauhan seorang wanita muda tengah melangkah ke arahnya. Remaja itu segera bergelayut di lengan Hanif tanpa malu-malu.
"Hei, Kak! Kenapa di luar? Kenapa nggak gabung bareng sama yang lain di dalem?" tanya Yuna sedikit manja.
"Eh, nggak apa-apa!" sahut Hanif dan mulai risih atas tingkah Yuna. Ia mencoba menyingkirkan tangan Yuna dari lengannya, tetapi sepertinya gadis itu semakin kencang mencengkeramnya. "Na, lepas dong!" pintanya.
Yuna mendongak dan menatap Hanif penuh dengan arti. Kedua bola matanya memancarkan sedikit sebuah rasa kekesalan. "Kenapa sih, Kak?"
"Ya nggak apa-apa! Nggak enak aja kalo diliat orang. Entar dikiranya kita ada apa-apa, lagi!" ujar Hanif menjelaskan.
Namun, sepertinya Yuna tak menggubris alasan Hanif. Baginya yang terpenting malam ini Hanif sudah datang ke pestanya, dan itu tanpa Mia, temannya sekaligus rival terberatnya. "Udahlah, Kak! Kita kan, nggak ngelakuin apa-apa. Lagian, ya, hari ini tuh ulang tahunku, emangnya Kak Hanif nggak mau apa barang sekali aja bikin aku happy!"
"Nggak gini juga kan, caranya, Na?"
"Kenapa? Kakak takut ketahuan sama Mia?" selidik Yuna.
Sedikit pun Hanif tak menjawab. Ini bukan perkara Mia akan marah, melainkan cara Hanif bergaul dengan lawan jenis, pun tak seperti itu. Hanif bukanlah tipe pemuda yang mampu bergaul dengan kedekatan macam itu. Ia mengerti betul batasan-batasan yang harus dijaga dalam pergaulan.
"Kita bukan mahram, Na!" ujar Hanif yang kemudian mengibaskan tangan Yuna dari lengannya secara paksa. Hanif segera mengenakan helm-nya. "O ya, Mia titip salam buat kamu. Dia minta maaf karena nggak bisa dateng. Sekali lagi, selamat ulang tahun, ya!" Tanpa banyak berkata lagi, pemuda berjaket hitam itu lekas pergi meninggalkan pesta ulang tahun yang belum usai itu. Sementara Yuna hanya mampu terpaku menatap kepergian Hanif dengan sepeda motornya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekat Cinta
RomancePernikahan yang menjadi dambaan Yuna ternyata tak semanis impiannya. Hanif sulit menerimanya sebagai seorang istri lantaran sebuah kesalahan fatal yang pernah ia perbuat. Yuna yang egois harus bersabar untuk mendapatkan cinta suaminya. Mampukah ia b...