DUA

76 4 0
                                    


Sreng ... suara aduan antara minyak goreng panas dengan bumbu terdengar jelas di telinga Yuna yang tengah menuruni anak tangga. Ia melangkah menuju dapur yang letaknya menyatu dengan ruang makan. Di sana nampak Vita sedang duduk di kursi makan sambil asyik menikmati selembar roti sandwich dan segelas susu cokelat hangat.

"Cie ... pengantin baru pagi-pagi udah keramas!" goda Vita yang mendapati kedatangan Yuna. Sementara Yuna hanya mampu mencebik seraya menjitak pelan kepala adiknya. Gadis yang baru saja mengenyam bangku kuliah itu lekas mengusap kepalanya sendiri.

"Ma, masak nasi goreng, ya?" tanya Yuna sedikit berteriak kepada mamanya.

"Iya, buat Papa!" sahut Bu Ninik yang sedang sibuk di dapur menyiapkan sarapan untuk suaminya.

"Buatku mana, Ma?"

Bu Ninik membawa dua porsi nasi goreng dan meletakkannya di meja makan. "Mama sengaja nggak bikinin nasi goreng buat kamu!" sahut Bu Ninik. " Sekarang bukan Mama yang harus nyiapin sarapan buat kamu, tapi kamu yang harusnya dari sekarang siapin sarapan buat suamimu!"

"Apa Mas Hanif mau makan masakanku?"

"Tentu saja. Kenapa nggak?" sahut Bu Ninik seraya melayangkan senyum manisnya.

Yuna menghela napas panjang. Tatapan matanya seketika kosong setelah mendengar ucapan sang mama. Suami, seharusnya kata itu memang tepat ditujukan Bu Ninik untuk Hanif bagi putri sulungnya. Namun, seperti apakah suami itu seharusnya? Kebahagiaan yang Yuna rasakan ketika duduk di pelaminan bersama Hanif, kini musnah setelah keduanya berada dalam satu ruangan yang sama tanpa orang lain semalaman.

***

Yuna baru saja selesai mandi. Pakaian sebelumnya telah ia tanggalkan dan berganti dengan lingerie berwarna merah. Sudah pasti dia terlihat seksi. Dirinya berharap malam ini akan menjadi malam indah yang takkan pernah dapat ia lupakan seumur hidup. Hanif Akbar, laki-laki yang ia cintai selama hampir sebelas tahun lamanya telah ia dapatkan dan kini berada dalam satu ruang pribadi yang sama dengannya. Sejenak Yuna menghela napas panjang. Seketika nervous melanda jiwanya. Bukan hal yang aneh bagi seorang gadis yang akan melewati malam pertama dengan suaminya. Rambut panjangnya ia biarkan terurai. Dengan pelan dan sedikit gugup, Yuna menekan handle pintu kamar mandi. Baru saja pintu itu terbuka dan Yuna masih berada di ambangnya, kedua netranya tak mendapati Hanif berada di dalam ruang berukuran 3x4 meter itu. Yuna melangkah menuju pintu penghubung antara kamar dengan balkon.

"Kamu lagi ngapain, Mas?" tanya Yuna ketika mendapati suaminya sedang duduk sendirian seraya menghisap rokok.

Hanif mengepulkan asap nikotin dari mulutnya secara perlahan. Tatapannya sedikit pun tak beralih kepada wanita yang sudah bersiap diri guna menikmati malam pertama mereka. "Lagi nikmatin rokok aja!' jawabnya.

"Masuk, yuk! Udara malem nggak baik buat kesehatan kamu, Mas!" ajak Yuna.

"Aku masih pengin sendiri, kamu aja yang masuk!" Lagi-lagi sikap Hanif masih terasa dingin kepada Yuna. Gadis bertubuh kecil itu hanya mampu menatap nanar suaminya.

Derik suara jangkrik terus menemani malam sepinya Hanif dan Yuna. Arsitek muda itu masih berada di tempatnya, duduk dalam kegelapan malam di balkon. Sebenarnya ia sudah merasa sesak napas lantaran harus berebut oksigen dengan pohon-pohon palem yang menghiasi jalanan komplek rumah. Sementara di dalam sana, ada seorang gadis yang belum dapat memejamkan matanya lantaran memikirkan pemuda yang dicintainya masih enggan untuk menikmati kebersamaan pertama kali dengannya.

Sekat CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang